Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

MEA 2015: Kalah Start, Indonesia Bakal Kedodoran

Selama 2-3 tahun pertama implementasi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang berlaku mulai Desember 2015, Indonesia diperkirakan bakal kedodoran menghadapi persaingan dengan negara Asean lainnya.

 

Bisnis.com, JAKARTA - Selama 2-3 tahun pertama implementasi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang berlaku mulai Desember 2015, Indonesia diperkirakan bakal kedodoran menghadapi persaingan dengan negara Asean lainnya.

MEA merupakan salah satu dari tiga komunitas Asean yang disepakati pembentukannya melalui Bali Concord II pada KTT ke-9 Asean di Bali pada 2003.

Saat itu, komunitas Asean ditargetkan untuk diwujudkan pada 2020 dengan visi menciptakan kawasan Asean yang stabil, makmur, dan berdaya saing tinggi, mempercepat liberalisasi perdagangan bidang jasa, dan meningkatkan pergerakan tenaga kerja profesional secara bebas di Asean.

Namun, pada KTT ke-12 tahun 2007 di Filipina, target dimajukan menjadi 2015. Kemudian pada KTT ke-13 di Singapura, cetak biru MEA telah disepakati yang memuat empat pilar a.l terbentuknya pasar dan basis produksi tunggal, kawasan berdaya saing tinggi, kawasan dengan pembangunan ekonomi merata, dan integrasi dengan perekonomian dunia.

Untuk memastikan kesiapan setiap negara Asean dalam menghadapi MEA, Sekretariat Asean melakukan pemantauan melalui AEC Scorecard yang dilakukan dalam empat fase, yaitu fase I (2008-2009), fase II (2010-2011), fase III (2012-2013), dan fase IV (2014-2015).

Capaian Indonesia hingga fase III adalah 81,3% atau di atas rata-rata capaian ke 10 negara Asean yang hanya sebesar 74,5%. Pada fase III, Indonesia menempati peringkat 6 dari 10 negara Asean atau meningkat dari fase sebelumnya (peringkat 9 pada fase I dan peringkat 8 pada fase II).

Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan meski scorecard Indonesia sudah mencapai 81%, pihaknya masih sangsi dari sisi efisiensi Indonesia.

Dia tidak yakin tingkat efisiensi Indonesia bisa menyamai negara Asean lainnya. “Ya itu, efisiensi Indonesia masih peringkat 6, masih rendah,” kata Hidayat di Jakarta, belum lama ini. 

Implementasi MEA harus disikapi lebih serius lantaran waktu yang sudah mendesak, tetapi masih banyak yang harus diselesaikan. Hal utama yang harus diselesaikan adalah masalah biaya produksi, infrastruktur dan jasa. Ketiga masalah tersebut genting diselesaikan untuk mengejar ketertinggalan daya saing industri dalam negeri.

Dalam implementasi MEA nanti, dia memperkirakan Indonesia akan sedikit kedodoran menghadapi persaingan bidang jasa dengan negara lain. Saat MEA, Indonesia akan diserbu lantaran memiliki potensial market yang tinggi. Sebab itu, dikhawatirkan sektor jasa di dalam negeri akan kalah dalam persaingan ini.

“Untuk trading masih bisa, tetapi untuk jasa ini saya takut pekerja ahli negara Asean lain akan merebut pekerjaan di dalam negeri, mulai dari perawat, arsitek, dokter, dan sebagainya.”

Selain itu, produktivitas tenaga kerja Indonesia juga rendah bila dihitung berdasarkan produk domestik bruto per pekerja per tahun.

Berdasarkan data produktivitas 2013 yang dilriis Asian Productivity Organization, produktivitas tenaga kerja Indonesia sebesar US$9.500. Dengan asumsi Rp11.000 per dolar AS, produktivitas tenaga kerja Indonesia setara Rp104,5 juta per pekerja per tahun. 

Angka produktivitas tenaga kerja Indonesia ini di bawah Singapura yang mencapai US$92.000 atau Rp1,012 miliar, Malaysia US$33.000 atau Rp363,3 juta, dan Thailand US$15.400 atau Rp169,4 juta. Bahkan, produktivitas tenaga kerja Indonesia berada di bawah rata-rata negara Asean yang sebesar US$10.700 atau Rp117,7 juta.

Masalah kedodoran ini juga diutarakan oleh Ketua Komisi VI DPR Airlangga Hartarto. Dia mengatakan selama dua-tiga tahun pertama implementasi MEA, Indonesia akan kedodoran menghadapi persaingan.

Secara keseluruhan, Indonesia tidak akan dirugikan, tetapi jangka pendek bisa kedodoran. Hal ini lantaran kebijakan finansial belum berpihak pada pengembangan dan perbaikan infrastruktur. 

Begitu pula dengan dukungan sektor energi. Hasilnya, Indonesia menjadi tidak kompetitif karena harga energi yang mahal, infrastruktur yang memadai sehingga kalah saing dengan Thailand, Malaysia dan Singapura.

Untuk menahan kedodoran yang lebih signifikan, pemerintah melalui Kemenperin akan fokus pada upaya penguatan struktur dan peningkatan dukungan iklim industri untuk mempertahankan penguasaan pasar dalam negeri dan Asean. Pertahanan tersebut dilakukan dengan cara peningkatan law enforcement dalam rangka penerapan dan pengawasan SNI dan membangun produk spesifik Indonesia.

Kemudian, memperbaiki buruknya proses di pelabuhan, membangun pengaturan teknis untuk menghilangkan impor produk tidak standar, membangun kemampuan market dan industrial intelligent dan membangun early warning system untuk mengamati perkembangan impor.

Adapun membentuk pasar dan basis produksi tunggal di Asean harus dilakukan. Kemenperin saat ini sudah merumuskan 94 SNI wajib pada industri-industri prioritas dan penting. Bahkan, untuk periode 2014-2015, Kemenperin sedang menyusun 65 buah SNI wajib.

Menperin Hidayat mengatakan sertifikasi dan SNI merupakan hal mutlak yang harus dilakukan Indonesia untuk bisa meningkatkan daya saing. Kunci dari implementasi MEA adalah bertahan dan maju di tengah persaingan.

Peneliti dari Lembaga Pengkajian Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3EKamar Dagang dan Industri Ina Primiana menuturkan kunci dari MEA adalah persaingan. Saat ini persaingan tidak lagi antar perusahhaan, tetapi antar supply chain. Keberhasilan mengelola supply chain adalah kunci memenangkan persaingan.

Adapun faktanya di Indonesia, banyak hambatan yang menyebabkan efektivitas supply chain management yang a.l keterbatasan infrastruktur (pelabuhan, jalan KA, jalan raya-kemacetan, bandara, dan gudang), fasilitas alat angkut yang sudah tua, lamanya waktu pelayanan di pelabuhan, konektivitas, dan kepastian kebijakan seperti kenaikan harga energi.

Hambatan-hambatan tersebut mengindikasikan Indonesia lemah mengatur supply chain. “Tingginya biaya angkut menghasilkan barang dengan harga yang tidak kompetitif, harga tidak stabil dan sering kali terjadi gangguan distribusi. Akibatnya, daya saing jadi rendah. Jadi, intinya itu adalah supply chain,” kata Ina.

Belum efektifnya penerapan supply chain disebabkan oleh belum terintegrasinya antar kementerian/lembaga sehingga menekan profit dan saya saing. Adanya perbaikan ranking daya saing (lihat tabel), secara riil tidak bisa dirasakan oleh dunia usaha lantaran semuanya tidak ada yang membaik dan mendukung dunia usaha.

“Segera kaji ulang seluruh kebijakan/aturan pada supply chai di semua sektor. Ingat MEA 2015 dan RCEP 2016, Indonesia harus diatur agar semua tidak berjalan sendiri-sendiri dan berantakan."

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Riendy Astria
Editor :

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper