Bisnis.com, JAKARTA--Kalangan pengusaha memastikan insentif yang diberikan pemerintah kepada 80 perusahaan industri padat karya tahun lalu guna membantu cash flow perusahaan dan menghindari lay off tidak memberikan manfaat dan pengaruh pada kinerja industri.
Di penghujung tahun lalu, pemerintah memberikan kemudahan untuk jenis industri padat karya. Insentif diberikan lantaran kinerja industri padat karya yang merosot akibat kenaikan upah minimum provinsi (UMP), kenaikan harga energi, serta pelemahan rupiah.
Adapun, detil insentif jangka pendek yang diberikan berupa fasilitas pengurangan besarnya pajak penghasilan dan penundaan pembayaran pajak.
Dalam memberikan insentif, Kementerian Perindustrian memiliki beberapa rekomendasi bagi perusahaan yang akan mendapatkan insentif. Beberapa pertimbangan tersebut a.l orientasi pasar ekspor atau dalam negeri, dan komitmen perusahaan untuk tidak melakukan lay off.
Namun, setelah beberapa bulan berjalan, pelaku usaha yang mendapatkan kemudahan tersebut tidak merasakan manfaat yang signifikan. Bahkan, bisa dikatakan tidak memberikan pengaruh sama sekali.
Delapan puluh perusahaan yang mendapatkan kemudahan meliputi sektor industri makanan, minuman, tembakau, industri tekstil dan pakaian jadi, industri kulit dan barang kulit, industri alas kaki, industri mainan anak, dan industri furnitur.
"Tidak ada pengaruhnya sama sekali. Pengehematan mungkin memang ada, tetapi sedikit sekali, tidak ada urusannya dengan kinerja industri kami yang justru selama Januari-Maret turun 10% ekspornya," kata Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia Eddy Widjanarko kepada Bisnis.com, Kamis (24/4).
Padahal sebelumnya, pihaknya menargetkan pertumbuhan ekspor tahun ini bisa capai 10%. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor produk industri alas kaki sepanjang 2013 naik 9,51% dari nilai ekspor US$3,5 miliar menjadi US$3,8 miliar.
Sama halnya dengan industri alas kaki, industri makanan dan minuman juga merasakan hal yang sama. Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Franky Sibarani mengatakan kinerja industri mamin pada triwulan I tahun ini justru terbantukan oleh nilai tukar rupiah yang sudah mulai stabil tidak seperti tahun lalu.
"Tak ada pengaruh (insentif). Justru kurs yang lebih berpengaruh," kata Franky.
Franky memprediksi investasi pada industri ini mencapai Rp80-Rp84 triliun atau tumbuh 10-15% dibanding target tahun lalu Rp73 triliun. Pertumbuhan pasar mamin dalam negeri dipicu konsumsi meningkat pada tahun pemilu.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat menuturkan insentif untuk industri padat karya yang diberikan pemerintah tahun lalu berupa penundaan pembayaran cicilan pajak, pajak perusahaan PPh 36, dicicil dengan Pph 25. Kemudian, PPh 25 cicilan diperkecil, dilunasinnya menggunakan PPh 29 tidak bisa membantu meringankan.
Menurut Ade, insentif itu tidak bermanfaat lagi lantaran kenaikan tarif listrik dampaknya sudah sangat signifikan. "Tidak berpengaruh dan tambah tidak ada manfaatnya sama sekali dengan adanya kenaikan tarif listrik."
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pertumbuhan produksi industri tekstil terus mengalami tren penurunan. Pada 2012, pertumbuhan produksi tekstil menurun 8,32%.
Adapun pada 2013, penurunan tak jauh berbeda, yakni 8,65%. Ade memperkirakan tren penurunan pertumbuhan produksi masih akan terjadi pada tahun ini. Bahkan, dengan tingkat penurunan yang lebih tajam lagi.