Bisnis.com, JAKARTA--Hampir semua daerah yang mengimplementasikan transportasi publik berbasis Bus Rapid Transit atau BRT menemui hambatan yang bisa menghambat operasional sehingga butuh Badan Usaha Milik Negara sebagai solusi cepat.
Kepala Bagian Hukum dan Humas Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Zainal Arifin mengatakan hampir di setiap daerah yang memiliki BRT memiliki kendala. Menurutnya kendala tersebut berbeda antara tiap daerah.
Menurutnya, secara garis besar, persoalan administrasi menjadi penghambat pengoperasian. Ada sejumlah aturan di daerah yang harus dilalui supaya armada BRT yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bisa beroperasi.
“Ada daerah yang harus membentuk badan usaha terlebih dahulu baru bisa mengoperasikan, ada yang terhambat image masyarakat karena terbiasa menggunakan kendaraan pribadi,” tuturnya, Rabu (26/3/2014).
Walau demikian, menurutnya berdasarkan hasil evaluasi di 11 kawasan di Indonesia yang menerapkan sistem transportasi berbasis BRT, secaa keseluruhan sudah berjalan dengan baik. Dia menyebut penerapan BRT di wilayah Kotamadya Surakarta, Jawa Tengah yang disebut Batik Solo Trans menjadi contoh bagus pelaksanaan sistem transportasi tersebut.
“Daerah menunjukkan komitmen mereka untuk terus memberikan subsidi bagi BRT,” tambahnya.
Menurut Zainal, Kementerian Perhubungan juga tidak akan lepas tangan terkait implementasi BRT di daerah karena program tersebut merupakan program pemerintah pusat untuk menciptakan sistem transportasi massal sekaligus mengurangi penggunaan kendaraan pribadi di daerah perkotaan.
Akan tetapi persoalan kelambanan pemerintah daerah dalam mengoperasikan armada BRT menurutnya juga menjadi perhatian Kementerian Perhubungan. Karena itu muncul wacana untuk menggandeng BUMN yakni Perusahaan Umum Damri.
Dia mennjelaskan dalam proses penetapan status aset di daerah memakan waktu yang lebih panjang dan banyak persyaratan yang harus dipenuhi.. Hal ini berbeda dengan pemberian bantuan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang memakan waktu lebih singkat dan syarat sederhana melalui mekanisme penyertaan modal negara (PMN).
“Tapi sejauh ini masih wacana. Pihak Damri juga belum diajak berbicara secara resmi,” jelasnya.
Karena itu, Zainal Arifin menginformasikan belum ada skema kerja sama dengan BUMN tersebut dalam operasional armada BRT di daerah. Pihaknya masih mengandalkan peran pemerintah daerah sebagai ujung tombak penerapan sistem BRT.
Informasi yang dihimpun Bisnis, sejauh ini ada 11 daerah yang menerapkan sistem transportasi berbasis BRT yakni Jakarta, Bandung, Bogor, Semarang, Yogyakarta, Solo, Denpasar, Manado, Bandar Lampung, Palembang, Pekanbaru.
Pada tahun ini Kemenhub menganggarkan Rp382 miliar untuk pengembangan BRT di 6 wilayah aglomerasi yang meliputi Jabodetabek, Medan, Bandung Metropolitan, Surabaya Metropolitan, Denpasar serta Makassar. Anggaran tersebut digunakan untuk pengadaan 250 bus, fasilitas pendukung seperti halte serta peralatan tambahan seperti Global Positioning System (GPS) yang tengah dalam proses pelelangan.
Sementara itu Direktur Utama Perum Damri Agus Subrata kembali menegaskan pihaknya siap diagendeng Kemenhub untuk mengoperasikan armada BRT. Akan tetapi, dia kembali mengingatkan harus ada kepastian pemberian subsidi kepada angkutan tersebut agar bisa beroperasi dalam jangka panjang.
“Seperti di Denpasar, kami diminta, tapi kami ingin pastikan dulu kejelasan subsidinya. Ada atau tidak,” katanya.