Bisnis.com, JAKARTA- Dalam laporan implementasi Kebijakan Pengembangan Sislognas (sistem logistik nasional) tahun lalu, dalam upaya peningkatan konektivitas, terdapat pelaksanaan pembangunan rel kereta api lintas utara Jawa yang selesai 84,31%.
Pembangunan itupun termasuk rencana penyambungan rel hingga Pelabuhan Tanjung Perak (Surabaya) yang merupakan gerbang dari Kawasan Timur Indonesia (KTI), pada tahun ini.
Sebuah analisa dari Chairman Supply Chain Indonesia (SCI) Setijadi rangkaian rencana itu memiliki nilai positif, terutama menginisiasi pembangunan transportasi multimoda. Hal tersebut, menurutnya, menjawab permasalahan klasik sistem transportasi yang seakan berkembang sendiri-sendiri, tak terkoordinasi.
“Selama ini, masing-masing moda transportasi [moda transportasi jalan, kereta api, laut, dan udara] dikembangkan sendiri-sendiri. Akibatnya, pengguna transportasi tidak dapat menemukan alternatif penggunaan moda yang optimal,” terangnya kepada Bisnis, Kamis (27/2/2014).
Kondisi ini umum terdapat di pelabuhan-pelabuhan Indonesia yang tidak terintegrasi dengan moda kereta api. Integrasi moda transportasi laut dengan moda kereta api, menurutnya, penting karena kereta api memakan biaya murah dibandingkan moda transportasi jalan, terutama untuk jarak antara 500-1500km.
Masuknya jalur rel kereta api ke Pelabuhan Tanjung Perak inipun, simpulnya, berefek ganda. Peningkatan kecepatan arus barang ini kemudian akan meningkatkan kapasitas pelabuhan, baik barang ekspor maupun impor, terlebih lagi dengan arus lalu lintas domestik dari dan ke KTI.
Dia menjelakan peningkatan distribusi barang ini berperan memecahkan masalah selama ini di wilayah timur Indonesia, yaitu ketersediaan barang atau komoditas. “Kapasitas Tanjung Perak berpotensi menekan harga yang mahal, dan disparitas harga dengan wilayah Indonesia lainnya.”
Meski demikian, dia menambahkan, kapasitas membesar di Tanjung Perak, belum tentu mengurai masalah disparitas harga. Sebab, KTI masih terbelit persoalan ketidakseimbangan arus barang. Infrastruktur masih sangat memerlukan peningkatan, terutama kondisi fisik pelabuhan dan peralatan bongkar muatnya.
Menurutnya, terdapat kendala berkaitan dengan proses-proses penanganan (logistik) komoditas sektor-sektor itu, seperti proses konsolidasi (pengumpulan), penyimpanan, pengemasan, pengepakan, dan pengiriman.Dia menyarankan agar pemerintah mempercepat pembangunan PDR.
“Dalam Cetak Biru Pengembangan Sistem Logistik Nasional, disebutkan alternatif lokasi untuk wilayah timur Indonesia adalah di Makassar dan Bitung (Sulawesi), Larantuka (Nusa Tenggara), serta Sorong dan Jayapura (Papua),” terangnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Logistik Indonesia (ALI) Zaldy Masita mengatakan hingga saat ini para pelaku logistik masih belum melihat gelagat pembangunan PDR di kawasan timur indonesia. Menurutnya, PDR dibutuhkan di tiap Provinsi yang memiliki pelabuhan laut agar biaya logistik dapat ditekan, sehingga mengurangi disparitas harga.
Di sisi lain, Tim Kerja Pengembangan Sislognas yang dikomandoi Kementerian Koordinator Perekonomian masih menggagas rencana pembangunan enam lokasi PDR. Adapun untuk KTI, menurut Ketua Timja Sislognas Edy Putra Irawady, kemungkinan terdapat di Ambon (Maluku). “[Kami] menunggu Perpres PDR itu.”