Bisnis.com, JAKARTA – Sejumlah kalangan menilai keputusan The Fed untuk mengurangi stimulus moneternya US$10 miliar per Januari 2014 hanyalah salah satu faktor yang memicu perlambatan perekonomian Indonesia pada tahun depan.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia Felianty mengatakan situasi ketidakpastian makro ekonomi dalam negeri lebih diakibatkan atas permasalahan struktural yang tengah dihadapi Indonesia.
“Keputusan tapering oleh The Fed bisa diminimalisir dampaknya jika kita mampu memiliki fundamental ekonomi yang kuat,”ungkapnya saat dihubungi Bisnis.com di Jakarta, Minggu (22/12/2013).
Lebih lanjut, dia mengutarakan kepastian atas pengurangan stumulus tersebut dapat memicu kenaikan suku bunga Bank Indonesia yang dikhawatirkan mengancam pertumbuhan sektor riil dalam negeri lebih dalam.
Selain kenaikan suku bunga BI, kondisi pelemahan rupiah, defisit neraca transaksi berjalan akan memperparah kondisi ekonomi seiring dengan pengetatan stimulus oleh Amerika Serikat.
“Parahnya, kebanyakan investasi asing di Indonesia adalah dana jangka pendek yang cukup sensitif dengan isu ekonomi global, seperti tapering sehingga dampak penarikan modal asing akan cukup terasa,”katanya.
Walaupun begitu, dirinya tidak menampik ketergantungan Indonesia terhadap dana jangka pendek asing merupakan solusi jangka pendek untuk menopang perekonomian Indonesia.
Apalagi kebijakan BI terkait dengan memperkuat likuiditas dolar melalui kerjasama bilateral swap (Bilateral Currency Swap Arrangement/BCSA) diakuinya tengah berjalan dan belum berpengaruh signifikan terhadap penambahan cadangan devisa.
Adapun BI pada 2013 telah menandatangani perjanjian kerjasama bilateral swap dengan 3 bank sentral senilai total US$37 milyar: PBOC China (US$15 milyar), Bank of Korea (US$10 milyar) dan Bank of Japan (US$12 milyar).
Walaupun begitu, keputusan pengurangan stimulus tersebut selayaknya disikapi bijaksana oleh pemerintah dengan melihat peluang di dalamnya.
International Monetary Fund (IMF) melalui laporannya yang berjudul World Economic Outlook pada Oktober 2013 memprediksi pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 3,6% pada 2014.
“Jika pertumbuhan ekonomi global meningkat, berarti akan ada peningkatan nilai perdagangan dengan Amerika Serikat dan Eropa pada tahun depan. Inilah yang harus digenjot sehingga tekanan neraca transaksi berjalan akan berkurang signifikan,”ucapnya.
POTENSI PASAR DOMESTIK
Tidak hanya itu, dirinya berpendapat pemerintah sebaiknya mempertimbangkan potensi pasar domestik yang mulai tumbuh pesat beberapa kuartal belakangan.
“Selain terus menggenjot aliran investasi asing, kita juga harus menggenjot invetasi dalam negeri yang cenderung lebih stabil,”imbuhnya.
Dia mencontohkan China yang porsi obligasinya hampir 90% ditopang oleh obligasi domestik sehingga turbulensi global tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kondisi perekonomian dalam negerinya.
Tentu saja, menurutnya untuk mewujudkan hal tersebut pemerintah juga dituntut untuk terus berupaya iklim investasi Indonesia mengingat sejumlah negara di kawasan Asean, misalnya Myanmar yang tengah berusaha melakukan reformasi struktural besar-besaran demi menarik dana segar asing.
Di lain pihak, ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Adiningsih mengemukakan penguatan pasar domestik adalah salah satu solusi untuk mengurangi tingginya ketergantungan Indonesia terhadap dana asing terutama dana jangka pendek.
Catatan Bisnis.com menyebutkan selama dua kuartal terakhir, pertumbuhan penanaman modal dalam negeri (PMDN) melesat lebih cepat ketimbang penanaman modal asing (PMA) karena menguatnya kepercayaan investor domestik terhadap iklim usaha dalam negeri dan struktur serta kemampuan perusahaan domestik yang makin besar.