Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Biaya Produksi Rendah, Relokasi Manufaktur ke Indonesia Bakal Marak

Indonesia perlu menyiapkan diri memanfaatkan peluang relokasi kegiatan manufaktur yang mulai tidak kompetitif di sejumlah negara kawasan Asia Pasifik yang dipengaruhi oleh kenaikan upah pekerja.
Ilustrasi/Bisnis.com
Ilustrasi/Bisnis.com

Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia dapat memanfaatkan peluang relokasi kegiatan manufaktur yang mulai tidak kompetitif di sejumlah negara kawasan Asia Pasifik yang dipengaruhi oleh kenaikan upah pekerja.

Wakil Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) Raden Pardede mengatakan negara-negara seperti China, Korea, Malaysia sudah mulai masuk ke dalam kelompok negara yang secara ekonomi lebih tinggi.

"Sebetulnya biaya tenaga kerja di negara itu lebih tinggi. Mereka tidak bisa lagi memproduksi barang manufaktur yang relatif murah. Artinya gaji tenaga kerja tidak lagi kompetitif," ujarnya disela Indonesia Knowledge Forum, Rabu (4/12/2013).

Dalam kurun waktu 3 tahun ke depan, lanjutnya, negara ini masih membutuhkan industri manufaktur yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar (labour intensive).

Dengan demikian, persoalan penyerapan tenaga kerja kepada sektor yang lebih produktif dapat tertangani.

"Kemungkinan relokasi manufaktur ke Indonesia cukup besar. Bukan berarti kita ingin labour intensive terus menerus. Dalam jangka menengah panjang memang harus ditinggalkan, tetapi kalau sekarang kita butuh itu," ungkapnya.

Raden Pardede berpendapat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir penciptaan lapangan kerja di Indonesia menjadi persoalan, karena lebih banyak terserap ke sektor yang produktivitasnya rendah (low productivity).

"Itu menjadi persoalan sekarang. Kita perlu menciptakan lapangan kerja produktif 10 tahun ke depan untuk menyerap 20 juta-25 juta tenaga kerja. Lapangan kerja itu bukan sekedar menciptakan buruh ritel atau buruh infrastruktur saja," tegasnya.

Sementara itu, ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri menyatakan Indonesia tetap menjadi tujuan investasi menarik bagi investor.

Sejumlah negara di kawasan Asean, seperti Thailand maupun Malaysia masih mengalami gejolak politik. Dia menggambarkan kondisi politik Thailand saat ini yang kembali diguncang politik.

"Indonesia dalam sejarahnya tidak sampai gejolak politik menganggu ekonomi. Paling gampang kepemilikan surat utang di negara ini 40% dikuasai oleh asing. Kalau dilihat lagi rata-rata investor asing itu memiliki portofolio yang jangka waktunya 10 tahun. Artinya, asing tidak peduli dengan kondisi politik yang terjadi," jelasnya.

Dia berharap pemerintahan baru yang terpilih di periode mendatang memperhatikan persoalan struktural.

Menurutnya, problem ekonomi yang menimpa Indonesia lebih banyak pada persoalan struktural, terutama kebijakan pemerintah yang tidak efektif.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper