Bisnis.com, JAKARTA - Pelaku usaha industri kaca mengeluhkan sulitnya melakukan ekspansi akibat ketidakpastian energi, khususnya gas.
Kepala Unit Kaca Pengaman Asosiasi Kaca Lembaran dan Pengaman (AKLP) Yustinus Gunawan memperkirakan pertumbuhan industri kaca domestik sampai akhir tahun sekitar 5,5%-6,5% atau tidak beda jauh dengan pertumbuhan tahun lalu yang 5,9%.
Menurutnya, kinerja industri kaca akan menurun drastis bila tidak ditopang oleh permintaan kaca dari sektor otomotif yang tumbuh 8% dan properti yang tumbuh 12,5% sepanjang tahun ini. Pasalnya, kenaikan harga gas yang berlaku pada September 2012 dan April 2013 dinilai menjadi kendala tumbuhnya industri ini.
“Industri ini bisa dibilang bonsai, segitu-segitu saja, kapasitas harus dijaga karena memang sulit ekspansi. Sulitnya itu karena ketidakpastian gas, mulai dari harga yang naik terus, pasokan, kenaikan harga listrik dan juga soal upah tenaga kerja,” kata Yustinus di sela-sela acara Pembukaan Pameran Keramik dan Bahan Bangunan di kantor Kemenperin, Selasa (19/11).
Menurutnya, saingan terberat untuk industri kaca adalah Malaysia. Alasannya, harga gas di Malaysia disubsidi oleh pemerintah sehingga dari sisi persaingan, Indonesia sudah kalah. “Ini yang kami takutkan, dari luar negeri itu investor pilih ke Malaysia daripada Indonesia. Kami tidak mengharapkan subsidi, hanya saja, harga gas jangan naik lagi. Harga saat ini sudah US$10 per MMbtu saja sudah mencekek,” tambahnya.
Padahal, lanjutnya, dengan menambah satu tungku saja, kapasitas produksi kaca bisa bertambah 12,5% dari total kapasitas industri kaca saat ini. Adapun produksi kaca tahun ini ditargetkan mencapai 1,25 juta ton atau sama dengan realisasi tahun lalu. Produksi tersebut sudah memenuhi 90% kapasitas yang ada. “Ya memang sudah hampir habis tidak bisa bertambah lagi produksinya.”
Saat ini, banyak investor, baik lokal dan luar negeri yang wait and see melihat kestabilan gas di dalam negeri. Menurutnya, banyak investor yang maju mundur karena permasalahan gas yang ada di dalam negeri. “Soalnya kan sekali nyudut api dan nyala itu tidak boleh mati, harus dipertahankan terus, banyak yang takut tiba-tiba pasokan gas tidak ada atau habis,” jelasnya.
Seperti yang terjadi di Kawasan Industri Medan, beberapa waktu lalu banyak pabrik yang terpaksa gulung tikar karena persoalan gas. Menurutnya, saat ini tidak ada perusahaan kaca yang beroperasi di sana sejak lama.
Pada sisi lain, Yustinus mengatakan investor lebih banyak yang memilih untuk ekspansi di sekitar Jawa Barat dengan alasan tingginya tingkat pertumbuhan industri properti di sana. Hal itu jika pembangunan dilakukan di daerah sekitar sumber gas seperti Jawa Timur dan daerah lain.
“Pernah ada yang mau ekspansi dekat sumber energi pasir di Bangka atau Belitung, tapi susah mengangkut kacanya, ongkosnya besar. Lebih baik Jawa Barat dan Jabodetabek yang dekat dengan pasar,” jelasnya.
Selain permasalahan gas, banyak investor yang menunggu pemilu terlebih dahulu. Adapun saat ini, ada investor PT Daya Indah Kaca yang sudah melakukan konstruksi di wilayah Tangerang. Namun, hingga kini belum terdengar produksinya. “Harusnya kita sudah nambah tungku sekarang, kalau terlambat nanti banjir lagi produk dari Cina.”
Meskipun pertumbuhan jalan di tempat, Yustinus menuturkan kualitas kaca dalam negeri tidak kalah dengan negara lain. Tahun ini, ekspor kaca diperkirakan mencapai 30% dari produksi kaca dalam negeri yang mencapai 1,25 juta ton. Adapun kebutuhan dalam negeri sekitar 700.000 ton per tahun, sedangkan sisanya diekspor.