Bisnis.com, JAKARTA - Mekanisme the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dinilai gagal mengatasi konflik yang terjadi antara perusahaan kelapa sawit dan masyarakat yang berakibat rusaknya lingkungan, sedikitnya pada delapan negara di Asia dan Afrika.
Selain di Indonesia, masalah serupa juga terjadi di Papua Nugini. Masyarakat adat Collingwood Bay, Papua Nugini, tengah terlibat konflik dengan perusahaan kelapa sawit asal Malaysia,sekaligus anggota RSPO, Kuala Lumpur Kepong (KLK) dengan mempunyai tiga izin lahan skala besar.
Perwakilan masyarakat tersebut sudah menyampaikan masalah tersebut ke RSPO pada April, namun tak ada tanggapan. RSPO kini tengah melakukan pertemuan tahunan di Medan, Sumatra Utara pada 11-14 November 2013. Dua perwakilan komunitas adat di negara tersebut, Adelbert Gangai dan Lester Seri juga datang ke Medan.
Gemma Tillack, Pengkampanye Agribisnis dari Rainforest Action Network (RAN), mengatakan lahan yang diklaim itu meliputi 100.000 hektare hutan primer, taman komunitas, lahan berburu tradisional dan desa pesisir yang tersebar luas.
"Tanah itu merupakan tanah yang dimiliki komunitas dan merupakan sumber penghidupan bagi sembilan suku yang berbicara dalam enam bahasa," katanya dalam keterangannya, Rabu (13/11/2013).
Marcus Colchester dari Forest Peoples Programme (FPP) dalam laporan terbaru menegaskan bahwa sejumlah anggota RSPO tidak menepati janji mereka untuk menghormati hak kolektif masyarakat.
Laporan yang berjudul Conflict or Consent? The Oil Palm Sector at a Crossroads itu menyatakan terdapat pelbagai kasus di tujuh negara yang terbentang di Asia dan Afrika terkait dengan konflik tersebut.
Negara itu adalah Filipina, Indonesia, Kamerun, Kongo, Liberia, Malaysia, serta Thailand. Di Indonesia misalnya, konflik yang gagal ditangani oleh RSPO di antaranya terjadi di Sumatra Barat, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.
Di Thailand, kasus juga terjadi pada orang-orang Mani yang tinggal di pegunungan Banthad di Thailand Selatan. Penggundulan hutan terjadi dengan adanya ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Kepala Departemen Kampanye Sawit Watch Bondan Andriyanu mengatakan sejak berdiri pada 2004, RSPO justru tak mengurangi terjadinya konflik perusahaan kelapa sawit dengan pihak lainnya. Data organisasi itu menyebutkan terdapat 389 konflik dengan kerusakan hutan mencapai 500.000 hektare per tahun.
Dia menuturkan persoalan terbesar di RSPO terkait dengan penangangan konflik adalah besarnya konflik kepentingan dari anggotanya. Hal itu disebabkan karena Dewan Eksekutif yang mempunyai otoritas besar dalam penanganan konflik adalah terdiri dari anggota RSPO.
"Ini bentuk cacat kelembagaan karena anggota Dewan Eksekutif bisa menjalankan peran sebagai penggugat, tergugat, panel penerima keluhan, panel banding, penasehat panel keluhan, panel dan penentu akhir," kata Bondan.
Sawit Watch, yang juga anggota RSPO, mengatakan asosiasi itu tidak menawarkan mekanisme pengaduan yang mandiri bagi para pemangku kepentingan di sektor kelapa sawit.
Bondan menuturkan sistem pengaduan RSPO bahkan belum memenuhi standar mekanisme keluhan non-hukum sesuai dengan prinsip-prinsip panduan bisnis dan hak asasi manusia (HAM) pada PBB.