Bisnis.com, JAKARTA - Serapan bahan bakar nabati (BBN), yaitu biofuel dan bioetanol, memerlukan insentif fasilitas pencampuran dan kemudahan distribusi sebelum implementasi total dilakukan tahun depan.
Sekretaris Jenderal Asosiai Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) Paulus Tjakrawan mengatakan kendala bahan biofuel adalah distribusi. Saat ini yang terdistribusi baik hanya ada di Jawa dan Sumatra. Hal ini karena industri biofuel belum ada di Indonesia bagian Timur.
"Harapannya di Indonesia bagian Timur segera banyak industri yang muncul. Saat ini kami [Aprobi] tengah mendorong industri biofuel di Sulawesi," katanya hari ini, Rabu (13/11/2013).
Di samping distribusi, kepastian fasilitas pencampuran bahan bakar menjadi kendala. Wakil Direktur Pembinaan Pengusahaan Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Afrizal mengatakan kendala pada mandatori 10% serapan BBN adalah fasilitas bauran BBN untuk PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Hingga saat ini, PLN masih membeli dari PT Pertamina (Persero).
"Bahan biodiesel dan nabati tidak mudah disediakan di semua lokasi PLTD, terutama di wilayah Indonesia Timur," katanya.
Konsumsi bahan bakar minyak untuk PLTD milik PLN maupun sewa pada kuartal
III/2013 lalu mengalami pelonjakan dan diperkirakan melebihi target yaitu
7,1 juta kiloliter. Padahal, APBN-Perubahan mencatat konsumsi BBM PLN ditargetkan 6,3 juta kiloliter. Pada kuartal III, capaian konsumsi BBM telah berada pada nilai 5,5 juta kiloliter.
Ditjen Ketenagalistrikan mengakui masih mengevaluasi penggunaan biodiesel dan BBN-Olein di mesin PLTG. Selain itu, untuk menggunakan BBN pada mesin-mesin pembangkit akan meningkatkan biaya pemeliharaan untuk penggantian bagian-bagian mesin. Hal ini karena nilai kalor BBN lebih rendah daripada BBM berjenis high speed diesel (HSD).