Bisnis.com, MEDAN - Indonesia tercatat sebagai produsen dan eksportir minyak kelapa sawit terbesar di dunia dengan lahan perkebunan sawit seluas 10,8 juta hektare.
Diperkirakan luas lahan kelapa sawit akan meluas hingga 20 juta hektare atau lebih dari 10% dari seluruh daratan Indonesia pada 2020 mendatang.
Indonesia juga tercatat menempati peringkat ketiga di dunia untuk emisi karbon dioksida, terutama akibat deforestasi dan kerusakan lahan gambut.
Norman Jiwan, Direktur Eksekutif Transformasi untuk Keadilan Indonesia, organisasi HAM berkedudukan di Jakarta, mengatakan banyak perkebunan Indonesia yang memiliki pabrik pengolahan dan fasilitas lain sebagai mata rantai pasokan CPO berkedudukan di Sumatra.
"Untuk itu, Medan menjadi ibu kota tidak resmi industri minyak sawit Indonesia. Kota ini menjadi panggung untuk teater jalanan dan protes selama pertemuan the Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)," paparnya, Jumat (8/11/2013).
Penemuan itu tertuang dalam laporan penelitian berjudul "Conflict or Consent? The Oil Palm Sector at A Crossroads" yang dikerjakan oleh Forest Peoples Programme, Sawit Watch dan TuK Indonesia. Laporan itu rencananya akan disampaikan dalam perhelatan RSPO akan berlangsung pada 11-14 November mendatang di Medan.
Kajian investigatif tersebut merupakan hasil kerjasama dengan 17 organisasi dan pendukung mitra dari internasional, nasional dan akar rumput di negara-negara produsen CPO terbesar seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Kamerun dan Republik Demokrasi Kongo.
Menurutnya, peningkatan permintaan global akan CPO memicu ekspansi besar-besaran perkebunan kelapa sawit sepanjang hutan-hutan Asia Tenggara dan Afrika. Keprihatinan mengenai berbagai dampak lingkungan dan sosial mendesak pembentukan RSPO tahun 2004.
RSPO menjalankan sebuah standar sertifikasi untuk kegiatan usaha yang menghormati hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal yang hidup dalam lahan yang terdampak oleh perkebunan dan juga melindungi tanah dan hutan dengan nilai konservasi tinggi.
“Begitu banyak upaya diinvestasikan dalam mekanisme penyelesaian sengketa RSPO dan International Finance Corporation, tapi hasilnya sedikit,” kata Jefri Saragih, Eksekutif Direktur Sawit Watch, salah satu anggota RSPO.
Dia mengaku dapat menunjukkan satu atau dua hasil yang baik dilapangan, tetapi masih ada ribuan konflik lahan dengan perusahaan kelapa sawit di Indonesia saja. Masalah tersebut, sambungnya, kini semakin meluas ke wilayah-wilayah lain di Asia dan Afrika. "Kami mendesak satu tanggapan segera dan meluas atas krisis ini.”
Walaupun beberapa dari perusahaan anggota RSPO sudah mengesahkan standar dan prosedur operasional yang baru, kata dia, memperbaiki praktek mereka diatas kertas, dan bahkan menerima sertifikat untuk beberapa cabang kegiatan usaha mereka, kenyataan di lapangan menyimpulkan tidak ada perubahan.
Pejabat senior perusahaan mungkin sudah bersedia menjalankan pendekatan baru, tetapi sering kali para manager operasional di lapangan gagal mengimplementasikan. Prosedur untuk memberikan pemulihan bagi masyarakat korban sangat buruk.
Marcus Colchester, Penasehat Kebijakan Senior di Forest Peoples Programme, sebuah organisasi HAM internasional, mengatakan di balik kegagalan 'praktek terbaik sukarela' ini adalah hukum dan kebijakan nasional yang menolak atau mengabaikan hak-hak tanah masyarakat adat dan masyarakat lokal.
"Dalam berlomba cepat menggalakan investasi dan ekspor, pemerintah menginjak-nginjak hak-hak rakyat mereka sendiri. Para investor, pengecer, pabrik pengolah barang jadi dan pedagang dunia harus tegas meminta minyak sawit bebas konflik, dan pemerintah nasional harus memperbaiki permainan mereka dan menghormati hak-hak masyarakat,” paparnya.