Bisnis,com, JAKARTA - Menteri Perindustrian M.S. Hidayat mengatakan pihak konsorsium Nippon Asahan Aluminium (NAA) Jepang masih membuka peluang untuk berdiskusi kembali dengan pemerintah Indonesia terkait nilai dan pembayaran kompensasi pengambilalihan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).
“Begini, detik terakhir (31/10) sore itu mereka meminta untuk membawa ke arbitrase, ketika itu kami mengiyakan. Namun kemarin saya dapat kontak dari mereka (pihak NAA Jepang), masih mengajak kami berdiskusi, masih ada peluang tanpa arbitrase,” kata Hidayat ketika dihubungi Bisnis, Selasa (5/11/2013).
Hidayat mengatakan, secara de yure, 100% PT Inalum sudah menjadi milik pemerintah Indoenesia. Hanya saja, nilai dan mekanisme pembayaran yang belum mencapai titik kesepakatan. “Setelah dapat kontak dari mereka, saya langsung instruksikan ke perunding soal diskusi ini. Kemungkinan dalam waktu satu-dua minggu ini diskusinya,” katanya ketika ditanya kapan diskusi akan berlangsung.
Dia berharap diskusi tersebut dapat membuat proses penyelesaian bisa selesai tanpa jalan arbitrase. “Semoga bisa dilakukan, biar praktis semua selesai. Kalau arbitrase masih panjang.”
Ahli Hukum Perdagangan Internasional Theo Lekatompessy mengatakan peluang pemerintah Indonesia bisa menang dalam arbitrase maksimal 50% atau bisa dikatakan cukup sulit. Menurutnya, belum masuk ke pengadilan arbitrase saja, peluang Indonesia sudah kecil.
Dia menjelaskan, nantinya penyelesaian soal nilai kompensasi dan mekanisme pembayaran PT Inalum akan diselesaikan melalui proses arbitrase International Centre for Settlement of Investment Dispute (ICSID).
Jenis proses arbitrase ini memang digunakan untuk menyelesaikan persengketaan antara pihak swasta (investor) dengan pemerintah. “Proses arbitrase ini memang untuk melindungi investor (dalam hal ini Jepang), jadi sebelum mulai seharusnya kita sudah tahu, siapa yang akan dibela kan,” kata Theo kepada Bisnis.
Dia menyarankan agar pemerintah berusaha untuk menyelesaikan masalah ini tanpa arbitrase. Bila melihat inti persoalannya, lanjut Theo, ada pada perbedaan perhitungan nilai aset yang dihitung oleh pihak NAA Jepang dengan yang dihitung pemerintah Indonesia. Theo mengklaim, perhitungan yang dilakukan oleh Indonesia, dalam hal ini Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adalah perhitungan yang melihat berapa besar aset yang ada.