Bisnis.com, JAMBI—Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) mengingatkan dilanjutkannya kebijakan pembelian obligasi (quantitative easing/QE) oleh Federal Reserve/ merupakan kesempatan bagi Indonesia untuk memperbaiki fundamental ekonominya.
Ekonom ISEI Aviliani mengatakan perbaikan fundamental ekonomi akan memberikan daya tahan ekonomi Indonesia terhadap gejolak yang berasal dari sisi eksternal. Dia mengatakan kelemahan terbesar dari fundamental ekonomi di Indonesia terletak pada defisit transaksi berjalan.
“Kalau sudah memperbaiki fundamental ekonomi, saat mereka [The Fed] tidak memberikan QE, kita akan lebih aman,” kata Aviliani yang juga Sekretaris Komite Ekonomi Nasional di sela Sidang Pleno ISEI XVI, Kamis (19/9/2013).
Seperti diketahui, pada Kamis (19/9) Gubernur The Fed Ben S. Bernanke secara tidak terduga menunda niatnya untuk mengurangi [tapering] program pembelian obligasi oleh The Fed yang lazim dikenal dengan istilah QE.
Artinya, Bank Sentral Amerika masih tetap akan mengeluarkan dana sebesar US$85 miliar untuk pembelian obligasi.
Kendati demikian, pernyataan Bernanke masih menyisakan tanda tanya mengenai kapan pastinya The Fed akan benar-benar melakukan pengurangan pembelian obligasinya.
“Tidak ada jadwal pasti. Saya harus menekankan ini. Jika data yang ada [pertumbuhan ekonomi dan pasar tenaga kerja] sesuai dengan proyeksi dasar kami, maka kami bisa lakukan [pengurangan QE] akhir tahun ini,” kata Bernanke seperti dilansir Bloomberg, (19/9).
Sementara itu, Ekonom ISEI Mirza Adityaswara mengingatkan pemerintah jangan sampai terlena dengan perbaikan ekonomi sementara yang terjadi akibat pernyataan The Fed. Pasalnya, jelasnya, The Fed pasti akan melakukan penghentian QE, dan itu hanya tinggal masalah waktu dan kecepatan penarikannya saja.
Dia berpendapat terdapat dua cara dalam mengatasi permasalahan defisit transaksi berjalan, yaitu yang bersifat jangka pendek dan yang bersifat jangka panjang. Dalam jangka pendek, perbaikan neraca transaksi berjalan bisa dilakukan melalui operasi moneter.
“Oleh karena itu rupiah perlu dilemahkan dan pertumbuhan ekonomi yang mendorong impor lebih tinggi perlu direm untuk mengurangi aliran impor,” ujar Mirza yang juga menjabat sebagai Kepala Eksekutif Lembaga Penjamin Sosial ini. Selain itu, operasi moneter juga dilakukan melalui kenaikan suku bunga acuan (BI rate).
Namun, dia mengingatkan operasi moneter melalui pengetatan ekonomi semacam ini harus bersifat sementara. Sementara dalam jangka panjang, pemerintah harus mengupayakan solusi fiskal yang berdampak kepada sektor riil.
“Tunjukkan tekad pemerintah dalam menjalankan paket kebijakannya, seperti paket kebijakan energi alternatif dan paket deregulasi. Jangan mengandalkan operasi moneter melulu,” katanya.
Ketua ISEI Darmin Nasution mengungkapkan setidaknya terdapat tiga sumber utama defisit transaski berjalan, yaitu pertama minimnya sektor manufaktur dalam menghasilkan barang setengah jadi dan barang modal sehingga pertumbuhan ekonomi yang tinggi membutuhkan pertumbuhan impor yang lebih cepat,
Kedua pertumbuhan pendapatan yang terjadi tidak mampu diimbangi oleh produksi barang konsumsi, seperti bahan pangan. Dalam hal kebutuhan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, persoalan kenaikan harga yang sangat politis juga menjadi penyebab tambahan,
Ketiga situasi ekonomi dan perdagangan dunia yang mengakibatkan merosotnya nilai ekspor. “Di sini ada persoalan struktural keseimbangan eksternal, ditambah kebijakan yang tidak memadai dan antisipatif,” ujar mantan Gubernur Bank Indonesia ini.
Dalam struktur Neraca Pembayaran Indonesia (NPI), selama ini defisit transaksi berjalan bisa diimbangi oleh surplus transaksi modal dan finansial atau pengurangan cadangan devisa. Namun, situasi sekarang sulit bagi Indonesia untuk mengandalkan kedua instrumen tersebut untuk menutupi defisit transaksi berjalan. (ra)