Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Fungsi REDD+ Dipertanyakan

Bisnis.com, JAKARTA - Kewenangan Badan Pengelola Reduction Emision from Deforestation and Forest Degradations (REDD+) untuk memperbaiki tata kelola kehutanan di Indonesia dipertanyakan mengingat fungsinya yang terbatas pada koordinasi dan sinkronisasi.

Bisnis.com, JAKARTA - Kewenangan Badan Pengelola Reduction Emision from Deforestation and Forest Degradations (REDD+) untuk memperbaiki tata kelola kehutanan di Indonesia dipertanyakan mengingat fungsinya yang terbatas pada koordinasi dan sinkronisasi.

Koordinator Program Kehutanan, Iklim, dan Hak Komunitas Perkumpulan HuMa Anggalia Putri menuturkan pembentukan Badan Pengelola REDD+ sudah dinantikan cukup lama. Namun, kewenangan yang dituangkan dalam Perpres 62/2013 dinilai menimbulkan kekecewaan.

"Kalau dibaca Perpresnya, wewenang dan tupoksi badan ini mengecewakan, karena terbatas pada koordinatif, komunikasi dan sinkronikasi. Adapun, eksekutornya tetap ada di sektor masing-masing," kata Anggalia dalam konfrensi pers, Senin (9/9/2013).

Kewenangan tersebut membuat kalangan LSM pesimistis kehadiran Badan Pengelola REDD+ dapat mendobrak carut-marutnya tata kelola kehutanan di Indonesia.

"Apa nantinya REDD+ bisa paksa kementerian untuk mengubah tata kelola? Kita tidak melihat badan ini bisa bekerja di luar business as usual," ungkapnya.

Teguh Surya, Forest Political Campainger Greenpeace South East Asia-Indonesia, mengatakan lembaga baru ini harus fokus untuk membenahi tata kelola perizinan dan penegakan hukum di tiga sektor penyumbang deforestasi dan degradasi hutan terbesar. Tiga sektor ekstrakttif tersebut, imbuhnya, adalah perkebunan, hutan tanaman industri, dan pertambangan.

"Jadi perbaikan tata kelola kehutanan dan sektor SDA harus didorong sesuai mandat Tap MPR No. IX/2001," kata Teguh.

Selain itu koalisi masyarakat sipil juga menegaskan agar pemerintah memperjelas langkah penyelesaian berbagai masalah kehutanan seperti yang disusun dalam Stranas REDD+.

Diana Gultom, Research Coordinator Debt Watch Indonesia, mengaku khawatir terkait pengelolaan pendanaan yang mengucur ke Badan Pengelola REDD+. Pasalnya, meski Pasal 25 Perpres 62/2013 mengatur soal kerangka pengamanan pendanaan, namun hal tersebut dinilai belum cukup transparan.

"REDD+ harus tetap konsisten untuk menolak sumber pendanaan yang mengikat, termasuk dalam bentuk utang, hibah, atau pun bantuan teknis," kata Diana.

Diana juga menyoroti modus perusahaan dalam memberikan CSR di bidang kehutanan guna memutihkan citra sebagai pelaku perusakan hutan.
"Apakah CSR dari perusahaan yang track record-nya buruk bisa ikut berkontribusi ke REDD+ demi pemutihan citranya? Ini perlu ada penjelasan," tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Ana Noviani
Editor : Sepudin Zuhri
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper