Bisnis.com, JAKARTA--Untuk mempercepat realisasi investasi yang tengah berjalan, salah satu fokus pemerintah adalah dengan mempercepat program penghiliran industri berbasis mineral dan logam.
Itu komitmen pemerintah. Namun, seberapa besar usaha pemerintah untuk mempercepat? Nyatanya, hingga kini pemerintah masih berkutik menyusun roadmap untuk mengembangkan industri di sektor ini.
Belum lagi, kondisi defisit neraca perdagangan yang kian besar. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada Juli 2013 defisit neraca perdagangan mencapai US$2,31 miliar.
Dengan demikian, secara kumulatif dari Januari 2013 hingga Juli 2013 neraca perdagangan defisit US$5,65 miliar dan ini merupakan defisit terbesar sepanjang sejarah.
Kinerja ekspor Indonesia pada Juli 2013 sebesar US$15,11 miliar atau naik 2,37% dibandingkan dengan realisasi bulan sebelumnya. Namun, pencapaian itu turun 6,07% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Sementara itu, secara kumulatif, ekspor Indonesia pada Januari-Juli mencapai US$106,18 miliar atau turun 6,07% dibanding periode yang sama tahun lalu. Di sektor nonmigas, ekspor hingga Juli tercatat US$ 87,57 miliar atau turun 2,66% dibandingkan 2012.
Kemudian, rupiah yang kian melemah dan hampir menyentuh angka Rp12.000, membuat pemerintah kian fokus menurunkan defisit neraca perdagangan ini.
Lalu bagaimana program penghiliran bisa tetap berjalan? Di sisi lain, pemerintah harus mengurangi defisit dengan terus menggenjot ekspor, di sisi lain, program penghiliran bisa dikatakan membatasi ekspor mineral untuk jangka pendek, khususnya bahan baku.
Menteri Perindustrian M.S. Hidayat menyebutkan pemerintah akan tetap konsisten dalam pelarangan ekspor mineral sesuai dengan UU No.4/2009 bahwa ekspor hanya berlaku hingga 12 Januari 2014Meski demikian, ekspor masih dapat dilakukan oleh perusahaan dengan beberapa kondisi diantaranya perusahaan sudah mulai membangun smelter dengan pengenaan bea keluar progresif sesuai dengan kemajuan pembangunan smelter.
Namun, di sisi lain, Hidayat menyatakan melemahnya nilai rupiah terhadap dolar Amerika Serikat bisa dimanfaatkan pelaku ekspor komoditas primer di Indonesia untuk meningkatkan volume ekspor.
Hal ini dinilai juga merupakan cara untuk memperbaiki neraca pembayaran Indonesia. Lalu, bagaimana keseriusan pemerintah untuk menyukseskan program penghiliran?
Ekspor mineral masih bisa dilakukan asalkan perusahaan atau investor membangun smelter. Saat ini, lanjut Hidayat, Hingga Juli 2013, baru sekitar 6 perusahaan yang siap membangun smelter (sudah ground breaking) dari 20 perusahaan yang menyatakan komitmennya.
Bahkan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan terdapat 23 pabrik pengolahan bijih tambang atau smelter yang akan beroperasi pada 2014. Adapun 23 smelter tersebut mengolah komoditas bijih besi, bauksit, mangan dan dan zirkon.
Padahal, perusahaan yang sudah mengajukan pembangunan smelter sudah sangat banyak, hampir 300 pengajuan. Namun, realisasi belum terlihat. Hidayat menegaskan, ekspor bahan mineral tetap tidak bisa dilakukan apabila perusahaan tidak membangun smelter.
Artinya, bila pada 2014 masih sangat sedikit yang membangun smelter, penerimaan negara dari sektor ini pun juga berkurang. Padahal, sektor ini cukup besar menyumbang untuk negara.
Kewajiban investor untuk membangun smelter di dalam negeri salah satunya bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah pada produk mineral dan logam dalam negeri. Selama ini, Indonesia cukup besar mengekspor bahan baku mineral dan dalam negeri, sementara Indonesia juga impor produk mineral dan logam.
Adanya kewajiban tersebut memang membuat banyak investor di sektor mineral dan logam tertarik berinvestasi di Indonesia. Total investasi industri mineral dan logam seja tahun lalu telah mencapai US$17,5 miliar, melesat melebihi sektor lain.
Beberapa proyek dengan investasi besar untuk mineral dan logam di antaranya untuk aluminium yakni PT Aneka Tambang Tbk (Antam) dengan produksi biji bauksit berkapasitas 1,2 juta ton dan PT Well Harvest Winning berkapasitas 1 juta ton dengan masing-masing total investasi US$1 miliar.
Untuk besi dan baja, ada perluasan serta penambahan kapasitas produksi PT Krakatau Steel Tbk 1 juta ton biji besi yang menelan investasi US$400 juta. Selain itu, ada PT Meratus Jaya Iron & Steel yang berkapasitas 315.000 ton di Batu Licin, Kalimantan Selatan dengan investasi US$588 juta.
Untuk nikel, ada investas US$1,06 miliar dari PT Sulawesi Mining Investment yang memproduksi bijih nikel 300.000 ton. Sementara itu, untuk tembaga ada investasi US$1,5 miliar untuk produksi biji tembaga 200.000 ton dari PT Indovasi.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian Ansari Bukhari mengatakan seluruh rencana investasi tersebut sedang dalam proses. "Saat ini hampir semua masih dalam tahap uji coba produksi. Investasi ini akan mendorong pemenuhan bahan baku dari dalam negeri, karena selama ini kita sebagian besar masih impor, seperti baja," lanjut Ansari.
Untuk biji besi yang saat ini baru mampu memenuhi 10% dari kebutuhan dalam negeri, nantinya jika pabrik-pabrik baru sudah mulai berproduksi akan mampu memenuhi kebutuhan sendiri. Adapun, importasi biji besi untuk kebutuhan dalam negeri saat ini nilainya melebihi Rp10 miliar.
Untuk mendorong pertumbuhan hingga akhir tahun, pemerintah memberikan beberapa insentif seperti tax holiday, tax allowance, pembebasan bea masuk bagi bahan baku dan barang modal yang belum diproduksi dalam negeri, serta penetapan standar produk dan keahlian.
Selain investasi, konsumsi dalam negeri juga perlu digenjot untuk menopang pertumbuhan industri mineral dan logam. Pertumbuhan beberapa sektor lain seperti otomotif, permesinan, dan konstruksi memicu permintaan terhadap produk industri mineral dan logam dalam negeri.
Di atas kertas, pemerintah memang sudah menunjukkan usaha dan komitmennya. Bahkan, Kemenperin juga merotasi dua posisi direktur jenderal, yakni Dirjen Basis Industri Manufaktur (BIM) yang sebelumnya diisi oleh Panggah Susanto, kini diisi oleh Benny Wahyudi yang sebelumnya menjabat sebagai Dirjen Agro Industri. Begitu pun sebaliknya, posisi Dirjen Agro kini diisi oleh Panggah Susanto.
Sekarang, tinggal tunggu saja, apakah pemerintah serius melaksanakan program yang bernilai jangka panjang ini, ataukah ini hanya pencitraan pemerintah saja. Ini melihat dari banyaknya rencana investasi yang belum juga terealisasi hingga saat ini. Keseriusasan pemerintah untuk bisa merealisasikannya sangat dinanti-nanti.
Harus Dijaga
Di sisi lain, pemerintah harus terus menjaga pertumbuhan industri mineral dan logam pada semester II/2013. Pasalnya, terdapat indikasi kondisi buruk ekonomi global dan nasional akan menekan pertumbuhan industri. Adapun, industri mineral dan logam merupakan salah satu penopang pertumbuhan industri manufaktur dalam negeri. Sepanjang semester I/2013, industri ini tumbuh 12,74%.
Ansari menargetkan paling tidak mampu menjaga pertumbuhan industri mineral dan logam sepanjang semester II/2013 agar setara dengan pencapaian semester I/2013,"Paling tidak semester II/2013 harus dijaga agar sepanjang tahun ini pertumbuhan bisa 12,5%," ujar Ansari.
Ansari menjelaskan pihaknya tidak ingin terlalu optimistis mematok pertumbuhan industri mineral dan logam pada paruh kedua tahun ini hingga 15% meski umumnya semster II/2013 kinerja mampu melebihi semester I/2013. Berdasarkan data Kemenperin, pertumbuhan industri mineral dan logam tersebut terutama ditopang oleh tingginya investasi dan konsumsi dalam negeri.
Hidayat sendiri berkomitmen untuk bisa menyukseskan program penghiliran ini. Adapun untuk mengawal industri mineral, Hidayat mengaku pihaknya sudah memiliki road map-nya. “Tinggal dikoordinasikan dengan kementerian yang lain.”