Bisnis.com, BANDUNG--Asosiasi Pertektilan Indonesia (API) Jawa Barat menilai gejolak ekonomi sekarang ini semakin menekan daya saing sektor tekstil produk tekstil (TPT) nasional di pasar global.
Ketua API Jabar Ade Sudrajat mengemukakan perekonomian indonesia saat ini memaksa para pelaku industri memutar otak untuk tetap bisa mempertahankan usahanya, terlebih jelang perdagangan bebas Asean Economic Community (AEC) 2015.
"Laju inflasi yang masih tinggi, UMP minta dinaikan dan rencana kenaikan tarif listrik pun membuat industri perteksilan. Bahkan industri lainya menjadi minimalis," katanya, Minggu (8/9/2013).
Menurutnya, untuk bisa mengoptimalkan kinerja industri tekstil menjelang AEC 2015, pemerintah harus mampu peka dan jeli dalam menyiapkan strateginya.
Hingga saat, API menilai persiapan yang dilakukan pemerintah terbilang minim, seperti mempersiapkan proses distribusi logistik yang tengah digencarkan oleh negara Asean lainnya.
Dia mengatakan indonesia sebagai negara maritim seharusnya sudah mempersiapkan armada kapal yang layak beroperasi, sebagai penopang arus distribusi logistik.
"Jangan fokus pada pesawat saja, tetapi kapal pun harus bisa menampilkan geliatnya, saya belum mendengar kapal-kapal Pelni mempersiapkan armada jelang perdagangan bebas nanti," katanya.
API menunjuk pembangunan Pelabuhan Cilamaya harus segera dibangun sebagai upaya mempercepat solusi perkembangan distribusi barang TPT.
Sementara itu, industi peredam yang menggunakan limbah garmen sebagai bahan baku akan memaksimalkan produk lokal untuk atasi gejolak pasar di dalam negeri.
Manager Humas PT Superbtex 2 Audi Tanhati mengatakan gejolak perekonomian dalam negeri terdampak pada aktivitas produksi perusahaan, terutama saat masih membutuhkan bahan baku impor.
"Imbas pelemahan rupiah sudah mulai terasa bagi perusahaan kami, sebab terdapat komponen bahan baku yang masih diimpor, dan otomatis bagi setiap perusahaan manapun biaya produksinya bisa membengkak," katanya.
Saat ini, pihaknya akan memaksimalkan bahan baku limbah lokal untuk menutupi biaya operasional yang membengkak dan persaingan yang sudah tidak kompetitif.
Menurutnya, saat ini perusahan penyedia peredam busa yang sebagian besar digunakan untuk kendaraan mobil tersebut, masih mempertahankan harga pada umumnya.
Pasalnya, semakin kompetitifnya usaha membuat pihaknya menjaga agar permintaan tetap stabil. "Jangan sampai para industri rekanan kami melakukan order secara impor," katanya.
Dia berharap rupiah dapat kembali menguat supaya biaya pengeluaran tidak bertambah dan produksi lokal tetap bisa naik.
Pihaknya mengklaim saat ini PT Superbtex 2 merupakan industri pertama di Indonesia penyedia bahan baku peredam kendaraan dari barang bekas majun seperti kain, busa, dan lainnya.
Setiap hari perusahaan tersebut bisa menghasilkan produksi bahan baku dari limbah padat yang diolah mencapai 20 ton.
Bahan baku yang dihasilkan selanjutnya dipasarkan ke luar negeri dan Indonesia.
Selain memproduksi bahan baku, pihaknya juga memproduksi kasur , karpet, dan alat peredam dinding. (ra)