Bisnis.com, JAKARTA—Rencana pemerintah yang akan meratifikasi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC) dinilai dapat mengancam penerimaan cukai.
Direktur Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Susiwijono Moegiarso mengatakan ratifikasi atas protokol Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) itu dapat menekan volume produksi rokok sebanyak 1% hingga 3%.
“Di negara yang menerapkan FCTC, volume produksi rokok turun 1% hingga 3%. Selain tarif, produksi merupakan variabel penerimaan cukai, jadi penerimaan cukai dapat terkena dampak,” kata Susiwijono kepada Bisnis, Sabtu (27/7/13).
Susiwijono mengatakan produksi rokok merupakan andalan Ditjen Bea dan Cukai dalam mengumpulkan cukai karena berkontribusi 96% terhadap total penerimaan. Untuk tahun ini, penerimaan cukai rokok diperkirakan dapat melampaui Rp100 triliun.
Dia mengatakan pihaknya menyerahkan keputusan kepada pemerintah pusat apakah ingin mengutamakan kesehatan masyarakat atau penerimaan cukai. “Kami kan hanya instrumen. Kalau isu kesehatan yang lebih dominan ya monggo,” katanya.
Namun, menurut Susiwijono, saat ini sudah ada dua aturan di Indonesia yang dapat mengendalikan produksi dan konsumsi rokok, yakni Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 tahun 2012 dan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 28 tahun 2013.
PP No. 109 tahun 2012 mengatur pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan, sementara Permenkes No. 28 tahun 2013 mengatur tentang peringatan dan informasi pada kemasan produk tembakau.
Protokol FTFC merupakan draf pengendalian konsumsi rokok internasional yang disusun pada 3-6 Juni 2013 di Jenewa oleh WHO. Indonesia termasuk dalam negara-negara yang belum meratifikasi protokol tersebut.
“Memang Indonesia menjadi satu-satunya negara besar yang belum meratifikasinya, sedangkan sisanya adalah negara-negara kecil di Afrika. Tapi pemerintah juga perlu mempertimbangkan adanya implikasi penurunan cukai,” jelas Susiwijono.