BISNIS.COM, JAKARTA--Atas nama lingkungan, Unilever dan seteru abadinya Procter & Gamble Co. (P&G) belakangan sibuk berkampanye di depan jurnalis Indonesia. Biarpun dikemas seindah mungkin, persaingan merek dagang tetap kentara.
Indonesia tentu bukan pasar sembarangan bagi keduanya. Di tengah terjangan resesi ekonomi global, negara ini bertahan dengan tumpuan konsumsi produk rumah tangga.
Bahkan, dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal 2014, pemerintah sesumbar komponen konsumsi rumah tangga akan tumbuh agresif tahun depan pada kisaran 5,2%—5,6%.
Proyeksi itu tentu kue bisnis yang menggiurkan. Unilever juga telah mencicipi manisnya berbisnis di Indonesia.
Sejak beroperasi pada 1993, perusahaan yang berbasis di Rotterdam Belanda itu telah menjadi salah satu pelaku industri dengan laju bisnis terdepan lewat 43 brand populer.
Mereka juga royal berekspansi. Total ada 8 pabrik yang kini menjadi basis produksi, ditambah proyek baru di kawasan Sei Mangkei yang diperkirakan menelan investasi Rp1,45 triliun.
Unilever mengklaim telah menginvestasikan lebih dari Rp4 triliun hanya dalam waktu 3 tahun terakhir.
Unilever ngoto untuk menjaga pangsa pasar dari rebutan P&G. Bayangkan, sejak produk P&G menginvasi Indonesia, pasar Unilever tergerus 32%.
Perusahaan yang dibesut William Procter itu mengoda lewat merek-merek ternamanya seperti Pantene, Rejoice, Head & Shoulders dan Olay.
Kini medan pertempuran tak lagi tentang riset serta inovasi dan pengembangan produk. Mereka bergerilya di balik paradigma kelestarian.
Seolah, keduanya kini menjelma jadi pahlawan lingkungan. Jargonnya, bisnis tumbuh bersama kesejahteraan dan kesehatan masyarakat.
Komitmen Unilever dibungkus dengan strategi Corporate Suistanable Living Plan yang menitikberatkan pada pemilihan bahan baku hingga ke penggunaan produk oleh konsumen. Konsep itu direfleksikan melalui pencitraan pada sejumlah iklan produk.
Merek ‘Molto Sekali bilas salah satunya. Produk ini menghemat pemakaian air untuk membilas cucian. Ada lagi pembingkaian persepsi masyarakat terhadap produk Lifebouy dengan misi membentuk perilaku hidup bersih.
‘Bersih itu dimulai dengan mencuci tangan pakai sabun. Anda tentu pernah melihat bagaimana Unilever mengemas framing itu pada sejumlah cuplikan pariwara.
Selain itu, semakin banyak kemasan pemasaran brand Unilever yang dimulai dari pesan suistanability pada strateginya. Contohnya, produk-produk home-care seperti Sunlight, Molto, Rinso, dan Pureit, Unilever menyulap ibu-ibu rumah tangga menjadi komunitas ‘Ibu Bercahaya’.
“Saat krisis, orang akan tetap mandi, mencuci pakaian, dan aktivitas lainnya yang menjadi rutinitas hidup. Konsumsi rumah tangga akan tetap tumbuh, seperti yang kami peroleh melalui manfaat dari suistanable living plan,” ucap Sancoyo Antarikso kepada Bisnis, Selasa (21/5).
Sancoyo mencatat Unilever Indonesia lebih sukses dengan strategi itu. Dalam 5 tahun terakhir. Unilever melipatgandakan pendapatan hingga Rp27,3 triliun.
Capaian itu diperoleh melalui efisiensi pemakaian energi, air, material, serta pengurangan limbah di sejumlah pabrik. Efisiensi, serunya, membantu Unilever menghemat 300 juta Euro sejak 2008.
Tak mau kalah, strategi serupa dijalani P&G. Belanja iklan digenjot guna mengusung misi kepedulian lingkungan.
Produk Always dan Tampax sempat hadir dengan cuplikan bantuan sanitasi untuk gadis-gadis sekolah di Afrika. Rangkaian iklan Pantene juga dibidani untuk menarik simpati.
Di sektor produksi, gembar-gembor reduksi limbah industri diharapkan mencuri perhatian. Kepada wartawan, P&G bercerita semua limbah yang di produksi di pabriknya akan didaur ulang dan dijadikan sumber energi.
Perusahaan multinasional yang kini memasarkan sekitar 50 merek itu juga telah menyulap limbah menjadi barang jadi yang bernilai komersil. limbah dari jaringan pabrik di Charmin Bath Meksiko kini telah berubah menjadi genteng dengan harga rendah.
Ada lagi, sisa-sisa bahan dari pabrik popok dan tisu di Amerika Serikat sudah dapat diubah menjadi isi bahan material untuk berbagai jok.
Di Inggris, limbah yang diciptakan dalam produksi busa cukur produk Gillette dikomposkan kemudian diubah menjadi rumput untuk penggunaan komersial.
“P&G sedang mencari nilai dalam segala hal setiap harinya karena setiap langkah yang baik untuk prospek bisnis serta bagi lingkungan,” begitu tulis Bob McDonald, Presiden P&G, CEO & Chairman of the Board dalam keterangan yang diterima Bisnis, Selasa (21/5/2013).
Rasanya, ‘episode lingkungan’ dalam drama perseteruan Unilever-P&G memang selalu menarik ditunggu kelanjutannya.
Orientasinya dibuat sebias mungkin, meski tak terlalu sulit menyimpulkan ujung-ujungnya sebagai persaingan pemasaran brand produk. (ra)