BISNIS.COM, JAKARTA—Tingginya kenaikan harga properti yang tidak terkendali dikhawatirkan memicu terjadinya koreksi harga (bull trap) akibat munculnya penolakan pasar.
“Bull trap pernah terjadi pada awal tahun lalu di Alam Sutra karena kenaikan harga tidak terkendali. Misalnya, harga Rp10 juta/m2 terkoreksi menjadi Rp8 juta/m2, karena pasar menilai harga tersebut terlalu tinggi,” tutur Ketua Kelompok Kerja Broker Properti F. Suherman, Kamis (4/4).
Menurutnya, kondisi serupa mungkin terjadi pada tahun ini, saat harga berbagai jenis properti terus tumbuh, karena ada potensi harga tersebut digoreng oleh developer.
Kemungkinan terjadinya peningkatan dan permainan harga, jelasnya, terjadi saat berkembangnya suatu wilayah melalui pembangunan jalan tol atau fasilitas baru.
Meskipun begitu, sambung Suherman, bull trap berbeda dengan penggelumbungan harga atau bubble, yang dikhawatirkan selama ini. Bubble, katanya, membuat harga merosot sangat tajam. “Tidak ada indikasi seperti itu.”
Kalaupun harga mengalami penurunan, tuturnya, besar penurunan hanya sekitar 10% dari harga awal. “Saat harga turun, masyarakat kembali membeli, dan masih berpeluang untuk naik kembali.” (if)