BISNIS.COM, JAKARTA -- Perusahaan minyak dan gas bumi (migas) asal Indonesia dipastikan dapat mengelola lapangan minyak West Qurna 1di Irak yang saat ini dikelola oleh Exxon Mobil Iraq Limited (EMIL) dan Royal Dutch Shell, perusahaan migas asal Jerman.
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo mengatakan Pemerintah Iraq telah memastikan diizinkannya perusahaan migas asal Indonesia untuk mengelola lapangan minyak West Qurna 1 setelah berhasil menyepakati komitmen penjualan minyak dengan negara itu.
“Kami telah berhasil meminta Irak menyatakan komitmen untuk menyuplai minyak berapa pun dan sampai kapan pun kita membutuhkan. Selain itu Irak juga telah berkomitmen untuk mendukung jika Indonesia ikut dalam pengelolaan Lapangan West Qurna 1,” katanya di Jakarta, Senin (18/3/2013).
Lapangan West Qurna 1 sendiri diperkirakan mampu memproduksi minyak bumi sebanyak 1,8 juta barel per hari (bph). Pemerintah pun segera menunjuk PT Pertamina (Persero) sebagai pihak yang akan terlibat dalam pengelolaan lapangan tersebut.
“Kalau Pertamina dapat 10% di lapangan tersebut, paling tidak sudah dapat memproduksi 180.000 bph. Saat ini sendiri pembicaraan business to business (B to B) dengan Exxon dan Royal Dutch masih berjalan,” jelasnya.
Saat ini sendiri, lapangan West Qurna 1 saat ini masih dikelola oleh EMIL sebesar 60%dan Royal Dutch Shell sebesar 40%.
Sementara itu, mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Ari Sumarno mengatakan Pertamina harus berhati-hati dalam melakukan ekspansi untuk memperluas usahanya ke luar negeri. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu harus memperhitungkan keuntungan dan nilai tambah yang dapat diperoleh Tanah Air.
Untuk pembelian minyak dari Irak misalnya, Pertamina harus memperhitungkan minyak mentah tersebut akan diolah dimana. Pasalnya, minyak mentah asal Irak hanya dapat diolah di Kilang Cilacap yang saat ini telah mendapat jaminan pasokan dari Saudi Aramco.
“Kalau mau mengambil minyak dari Irak apakah akan mengurangi pasokan dari Saudi Aramco yang selama ini memasok kebutuhan di sana, kalau seperti itu dimana nilai tambahnya. Jangan-jangan nanti justru akan membuat Saudi Aramco memutus pasokannya, karena kita punya perjanjian jangka panjang dan mereka telah menjamin kebutuhan kita,” ungkapnya.
Selain itu menurutnya, Pertamina harus berorientasi pada tambahan replacement reserve ratio (RRR) migas dalam melakukan akuisisi blok migas di luar negeri. Selama ini Pertamina terlihat hanya mengutamakan peningkatan produksi migas dalam setiap aksi korporasinya.
“Untuk apa produksi naik kalau cadangannya turun. Kalau terus seperti itu, tidak lama lagi produksi migas Pertamina akan kembali menurun dan itu tidak dapat dihindari,” jelasnya.
Pertamina, lanjut Ari, harusnya mau melakukan komunikasi dengan perusahaan migas asal negara yang akan ditujunya untuk melakukan investasi. Dengan begitu Pertamina akan mendapatkan data dan kondisi faktual mengenai cadangan dan potensi investasi sektor migas di negara tersebut.
Setelah mendapatkan data itu, Pertamina dapat mengajak perusahaan migas negara tersebut bekerjasama mengelola blok migas di Indonesia, dengan tujuan mendapatkan kemudahan dalam melakukan investasi.
Akan tetapi, mekanisme tersebut membutuhkan dukungan maksimal dari pemerintah kepada Pertamina untuk melakukan kerja sama dengan perusahaan asing. “Sekarang apa yang menjadi unggulan Pertamina, bawa uang banyak juga tidak mungkin. Paling membawa data mengenai blok migas yang ada di dalam negeri untuk dikerjasamakan,” tuturnya.