JAKARTA – Nigeria berpeluang menjadi pasar bagi produk minyak sawit mentah Indonesia mengingat konsumsi di negara itu yang mencapai 2,6 juta ton per tahun, terutama untuk minyak sayur.
Dengan konsumsi yang cukup besar itu, Nigeria hanya mampu mencukupi kebutuhan dari dalam negeri sebanyak 500.000 ton sehingga sebagian besar harus diimpor.
Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun mengatakan Indonesia berpotensi mengekspor crude palm oil (CPO) hingga 2 juta ton, tetapi saat ini pengapalan ke negara itu hanya sekitar 160.000 ton per tahun.
“Nigeria ini pasar yang baik untuk Indonesia, tetapi hambatan yang dihadapi eksportir adalah bea masuk ke sana yang mencapai 35% sehingga belum bisa bersaing , apalagi berhadapan dengan pihak yang melakukan penyelundupan ke sana,” katanya di Jakarta, Kamis (21/2/2013).
Untuk itu pihaknya mengusulkan agar Indonesia segera mewujudkan preferential trade agreement (PTA) dengan Nigeria sehingga tarif impor CPO dapat diturunkan.
Kerja sama, tutur Derom, juga dapat dilakukan melalui investasi. Dia menyebutkan Wilmar telah menanamkan modal dan membuka 35.000 ha lahan sawit di Cross River, Nigeria bagian selatan sehingga perusahaan lain diharapkan mengikuti.
“Pada 1970, Nigeria memproduksi CPO lebih besar dari kita. Ini menunjukkan bahwa negara itu cukup potensial dari aspek lahan dan kita harus memanfaatkan kesempatan itu dengan berinvestasi,” ujarnya.
Derom berharap Nigeria dapat memberikan insentif berupa bea masuk CPO yang rendah kepada investor Indonesia. Impor CPO dari Indonesia diperlukan untuk mengisi kapasitas terpasang pada tahun-tahun awal setelah pabrik pengolahan didirikan.
Menurutnya, pola yang sama pernah diterapkan pemerintah Nigeria ketika mengundang perusahaan semen di berbagai belahan dunia untuk berinvestasi di negara setempat.
“Kepada Presiden (Susilo Bambang Yudhoyono), saya sampaikan mungkin perlu dirundingkan dengan Nigeria pola insentif yang mereka lakukan untuk semen delapan tahun lalu,” katanya.