JAKARTA—Kalangan industri rokok mencemaskan keberadaan PP No.109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan akan berdampak pada kenaikan biaya produksi.
Bahkan, menurut Hasan Aoni Azis, Sekjen Gappri (Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia), dampak tersebut akan sangat memukul industri rokok skala kecil dan menengah dalam satu atau dua tahun mendatang.
“Selama ini industri rokok sudah mematuhi seluruh regulasi yang berlaku di Tanah Air, apalagi yang terkena dampak dari PP No.109/2012 itu tidak hanya bagi yang kecil dan menengah, tapi industri skala besarnya ikut terdampak,” ujarnya kepada Bisnis, Selasa (12/2).
Hasan menjelaskan bagi industri skala kecil dan menengah yang paling merugikan adalah ketentuan harus mencantumkan gambar yang banyak pada kemasan, bukan hanya karena 40% adalah gambar dan tulisan peringatan, tapi setiap varian harus menggunakan satu gambar.
Bagi industri rokok skala besar, lanjutnya, dampaknya dari pengaturan soal iklan rokok, karena akan semakin sulit untuk mempromosikan kepada konsumen.
Saat ini, Hasan menuturkan Gappri melakukan kajian, baik untuk kepentingan internal anggota maupun kemungkinan langkah untuk melakukan review terhadap peraturan pemerintah itu jika ditemukan keganjilan hukum.
“Saat ini, kendala yang dihadapi adalah akan keluarnya biaya tambahan, seperti pada kewajiban pencetakan gambar peringatan dimana setiap merek harus dicantumkan 5 varian gambar, seperti pada pasal 15 ayat 1 dan penjelasannya,” ungkapnya.
Jadi, Hasan menambahkan biaya tambahan tersebut tentu membebani ongkos produksi pabrikan rokok.
Dia mengkui ada pengecualian untuk memproduksi tidak lebih dari 24 juta batang/tahun tidak dikenai ketentuan itu (pasal 15 ayat 2), tapi produsen dengan kapasitas itu hanya segelintir (sekitar 10 pabrik) dan 24 juta batang/tahun, atau 5.480 bungkus per tahun. (*)