JAKARTA: Pemerintah meminta daerah tidak menaikkan tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor di atas 5%, karena akan membebani APBN di tengah fluktuasi harga minyak dunia.Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa mengatakan sebaiknya pemerintah provinsi tetap menahan tarif PBBKB sebesar 5%, meskipun undang-undang memungkinkan pemerintah daerah menetapkan tarif PBBKB maksimum 10%."Saat ini 5%. Tapi pada September, daerah itu bisa mengajukan [tarif PBBKB] lebih dari 5%. Perdanya bervariasi, ada yang 7,5% ada yang sudah 10%, dan hanya sedikit yang tidak menaikkan," ujar Hatta di kantornya, Selasa 5 Juni 2012.Penyesuaian besaran pajak daerah ini sesuai dengan Pasal 19 UU No.28/2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang membuka peluang bagi Pemda untuk mengubah tarif PBBKB dengan batas maksimum 10% melalui Peraturan Daerah.Menurut Hatta, dampak perubahan tarif PBBKB yang bervariasi akan menimbulkan perbedaan harga jual bahan bakar di berbagai daerah. Padahal, BBM bersubsidi harganya tidak boleh berbeda-beda."Nah ini lah persoalannya, kalau harga tetap sama berarti dibebankan kepada APBN, tentu APBN kita tidak akan kuat kalau semua daerah menaikkan jadi 10%. Ini akan menimbulkan high cost lagi," ujarnya.Pembebanan PBBKB terhadap APBN, utamanya berkaitan dengan besaran subsidi BBM. Pasalnya, subsidi BBM yang ditanggung pemerintah dihitung berdasarkan selisih harga jual keekonomian dengan harga fix yang ditetapkan pemerintah yakni Rp4.500 per liter untuk BBM bersubsidi.Apabila terjadi perubahan pada komponen harga jual BBM bersubsidi yang mendongkrak harga keekonomiannya, belanja subsidi BBM akan membengkak. Berbeda dengan perubahan komponen harga jual BBM nonsubsidi yang ditanggung Pertamina dan dibebankan pada konsumen."Kalau BBM bersubsidi itu tidak bisa kita bebankan ke konsumen, karena berarti disparitas harga berbeda-beda, dan melanggar undang-undang," kata Hatta.PBBKB dan Pajak Pertambahan Nilai merupakan salah satu komponen harga jual BBM. PPN ditetapkan 10%, sedangkan PBBKB ditetapkan maksimum 10%."Pada akhirnya jadi kantong kiri, kantong kanan. APBD ya sumbernya APBN juga," katanya.Terkait hal ini, tambah Hatta, pemerintah sudah membuka forum dialog dengan Gubernur agar tidak terjadi kesalahpahaman dan perbedaan persepsi.Direktur Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng menuturkan himbauan pemerintah pusat ini merupakan bentuk inkonsistensi delegasi kewenangan pusat ke daerah yang sudah diamanatkan dalam UU."Jangan karena pusat kesulitan fiskal, lalu kewenangan daerah ditarik kembali. Bisa jadi ini bentuk intervensi, resentralisasi yang terselubung," katanya saat dihubungi Bisnis.Menurutnya, apabila mau diterapkan, kebijakan ini harus disepakati bersama antara pemerintah pusat dan daerah sebagai komitmen bersama menanggung beban."Jadi tidak keluar dari keputusan sepihak dari pusat, seperti kuota BBM Kalimantan itu. Karena ini sebenarnya penerimaan potensial bagi daerah," ujarnya. (bas)
BERITA LAINNYA: