Bisnis.com, JAKARTA — Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia mengungkap perlu adanya sinkronisasi kebijakan antara hulu dan hilir pada komoditas mineral, salah satunya nikel yang saat ini menjadi prioritas dalam program hilirisasi.
Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal menyebut upaya sinkronisasi itu perlu menjadi perhatian guna mendorong laju hilirisasi nikel dan turunannya.
"Jadi bagaimana insentif itu kalau memang mau dorong hilirisasi, insentifnya juga harus konsisten, sinkron dulu antara hulu dan hilir," tuturnya dalam Bisnis Indonesia Midyear Challenges di Jakarta, Selasa (29/7/2025).
Faisal mencontohkan, pemerintah saat ini terlalu fokus memberikan insentif pada sektor hilir guna mendukung pembangunan smelter nikel. Akan tetapi, tidak ada syarat yang diberikan pemerintah agar smelter tersebut menggunakan bahan baku baterai secara masif yang diproduksi di Indonesia.
Alhasil, hal itu mendorong smelter yang ada untuk cenderung menggunakan bahan baku lain pada pengembangan baterai kendaraan listrik. Sehingga, tak mendorong percepatan hilirisasi nikel.
"Sehingga, insentif yang masuk itu diberikan kepada produk-produk EV yang tidak pakai nikel, atau hampir tidak pakai nikel tetapi yang dipakai adalah pakai lithium phosphate," tambahnya.
Baca Juga
Pada saat yang sama, Faisal menegaskan Indonesia masih membutuhkan banyak material atau komponen dari luar negeri untuk memproduksi kendaraan listrik.
Dalam paparan yang disampaikan, Eropa hingga Amerika Masih menjadi pangsa terbesar pemasok baterai dari penjualan kendaraan listrik. Di mana, porsi keduanya mencapai angka 90%.
"Jadi belum ada customize terkait dengan sinkronisasi insentif antara hulu dan hilir. Barusan tadi pagi saya juga seminar juga dan menanyakan ke Kemenko Perekonomian, memang belum ada [sinkroniasi kebijakan antara hulu dan hilir]," pungkasnya.