Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pertumbuhan Ekonomi Korsel Kuartal II/2025 Rebound Meski Dibayangi Tarif AS

Ekonomi Korsel tumbuh 0,6% di Q2 2025, didorong ekspor dan konsumsi, meski dibayangi tarif AS. Negosiasi dagang dengan AS krusial untuk keberlanjutan.
Logo Bank of Korea di Seoul, Korea Selatan, 30 November 2017./Reuters-Kim Hong-Ji
Logo Bank of Korea di Seoul, Korea Selatan, 30 November 2017./Reuters-Kim Hong-Ji

Bisnis.com, JAKARTA — Ekonomi Korea Selatan kembali mencatatkan pertumbuhan pada kuartal II/2025, setelah sempat mengalami kontraksi ringan pada periode sebelumnya.

Data dari Bank of Korea (BoK) pada Kamis (24/7/2025) mencatat, produk domestik bruto (PDB) Korsel tumbuh 0,6% pada kuartal kedua dibandingkan kuartal sebelumnya, sedikit lebih tinggi dari proyeksi median sebesar 0,5%. 

Sementara itu, secara tahunan, ekonomi tumbuh 0,5% year on year (yoy). Setelah data dirilis, imbal hasil obligasi Korea turun tipis, sementara won menguat 0,1% terhadap dolar AS.

Pemulihan didorong oleh ekspor yang solid dan permintaan dalam negeri yang menguat menjelang implementasi anggaran tambahan, meskipun dana tersebut baru mulai disalurkan pada Juli. 

Sentimen masyarakat juga membaik setelah ketidakpastian politik yang berkepanjangan mereda seiring terpilihnya Lee Jae Myung sebagai Presiden menggantikan Yoon Suk Yeol yang dimakzulkan.

Data konsumsi mencerminkan pemulihan. Penjualan ritel dan departemen meningkat pada Mei, sementara indeks sentimen konsumen melonjak pada Juni dan mencapai level tertinggi dalam empat tahun pada Juli.

Cho Yong-gu, ahli strategi pendapatan tetap di Shinyoung Securities menuturkan, ekspor menunjukkan kinerja lebih baik dari perkiraan, sebagian karena efek percepatan pengiriman setelah tarif diberlakukan pada awal April lalu dan ditangguhkan pada Mei.

“Permintaan domestik juga mulai pulih di luar sektor investasi yang tampaknya sudah menyentuh titik terendah," katanya dikutip dari Bloomberg.

Kabar pertumbuhan ini menjadi angin segar bagi pemerintahan Lee, yang saat ini tengah melobi AS agar memberikan keringanan tarif. Menteri Keuangan Koo Yoon-cheol dan Menteri Perdagangan Yeo Han-koo dijadwalkan bertemu dengan Menteri Keuangan AS Scott Bessent dan Perwakilan Dagang Jamieson Greer di Washington, Jumat (25/7/2025).

Hasil perundingan sangat krusial bagi Korsel, mengingat ekspor menyumbang lebih dari 40% terhadap PDB negara tersebut tahun lalu.

Bank sentral pun masih akan mempertimbangkan dampak negatif dari kebijakan tarif AS terhadap ekonomi, di tengah kekhawatiran akan pasar properti yang mulai memanas di dalam negeri. 

Gubernur BoK Rhee Chang Yong mempertahankan suku bunga pada Juli setelah memangkasnya empat kali sejak Oktober lalu, dengan alasan kekhawatiran atas harga properti dan utang rumah tangga.

“Meski angka pertumbuhan sesuai ekspektasi, BoK kemungkinan akan terus mencermati harga rumah di wilayah Seoul dan utang rumah tangga,” ujar Cho. 

Dia menambahkan, BoK sudah menekankan pentingnya menjaga sinyal kebijakan yang tepat. Dia memprediksi pemangkasan suku bunga berikutnya akan terjadi pada Oktober.

Angka pertumbuhan yang moderat ini memperkuat argumentasi bahwa siklus pelonggaran masih berjalan, meski suku bunga dipertahankan saat rapat kebijakan berikutnya pada 28 Agustus.

Jin-Wook Kim, analis dari Citi Research, menambahkan data harga apartemen Seoul, volume transaksi, dan pinjaman rumah tangga pada pertengahan Juli menunjukkan perlambatan dari puncak siklus Juni berkat langkah makroprudensial pemerintah. Namun, dia memperingatkan stabilisasi pasar properti belum akan terjadi dalam waktu dekat.

BoK kemungkinan akan menerapkan pendekatan hati-hati hingga rapat dewan Oktober, sembari menilai stabilisasi harga rumah di Seoul, efektivitas stimulus fiskal, dan dampak tarif AS secara menyeluruh, lanjut Kim.

Pemerintahan Lee pada Juni lalu meluncurkan anggaran tambahan senilai 31,8 triliun won (US$23,1 miliar) untuk mendukung rumah tangga, mendorong konsumsi, dan menutup defisit penerimaan negara. 

Meski paket ini disetujui dengan cepat, distribusinya baru dimulai pada Juli. Sehingga, dampaknya terhadap ekonomi kemungkinan baru akan terasa pada paruh kedua tahun ini.

Gubernur Rhee mengatakan bahwa masing-masing dari dua anggaran tambahan tahun ini akan menambah 0,1% terhadap PDB. Anggaran pertama sudah diperhitungkan dalam proyeksi BoK pada Mei, sementara anggaran kedua diharapkan membantu menahan risiko pelemahan ekonomi ke depan.

BoK memperkirakan dampak inflasi dari stimulus ini akan minimal, dan mendorong pelaksanaan yang cepat. BoK juga menekankan bahwa tambahan belanja ini tidak akan menghalangi ruang untuk memangkas suku bunga lebih lanjut jika dibutuhkan.

Pada Mei, BoK memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 dari 1,5% menjadi 0,8%, dengan alasan ketegangan dagang dengan AS dan lemahnya permintaan domestik. Rhee mengatakan penurunan tajam investasi konstruksi sendiri telah mengurangi pertumbuhan sebesar 0,9 poin persentase, lebih dalam dari perkiraan semula.

Meski proteksionisme AS meningkat, ekspor masih menjadi penopang utama ekonomi. Pengiriman semikonduktor melonjak lebih dari 11% pada semester I/2025 dibandingkan tahun sebelumnya, didorong oleh permintaan global terhadap teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI). Ini menumbuhkan harapan bahwa tren positif dapat berlanjut hingga 2026.

Namun, keberlanjutan momentum ekonomi Korsel sangat bergantung pada hasil negosiasi dagang dengan Washington. Konsesi di sektor pertanian dan energi, serta kontribusi tambahan untuk biaya militer, dikabarkan masuk dalam agenda perundingan.

Sementara itu, ketidakseimbangan finansial tetap menjadi perhatian utama. Harga apartemen di Seoul telah naik selama 24 pekan berturut-turut. 

Pemerintah pun telah menerapkan batas maksimum pinjaman hipotek untuk pembelian rumah di kawasan metropolitan Seoul, meski efektivitasnya belum terlihat jelas.

Rhee memperingatkan lebih dari 70% pinjaman rumah tangga yang dimiliki bank di Korea dijamin oleh aset properti, sehingga menimbulkan risiko sistemik. 

Dia juga mencatat kredit rumah tangga belum pernah turun dalam dua dekade terakhir akibat lemahnya koordinasi antara kebijakan makroprudensial dan moneter.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro