Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pertaruhan Kinerja Manufaktur Hadapi Gejolak Perang Dagang & Geopolitik

Produktivitas manufaktur nasional dipertaruhkan di tengah ketidakpastian perang dagang dan konflik geopolitik.
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis
Karyawan beraktivitas di salah satu pabrik di Jawa Barat. Bisnis/Bisnis

Gabungan Industri Pengerjaan Logam dan Mesin Indonesia (Gamma) menilai konflik geopolitik akan banyak memengaruhi kenaikan harga komoditas energi sebagai bahan baku industri manufaktur.

Ketua Umum Gamma Dadang Asikin mengatakan, dampak yang mulai terasa saat ini terkait dengan kenaikan biaya logistik dan asuransi pengangkutan di sejumlah sektor industri. Biaya logistik diprediksi naik 15%-25%, utamanya angkutan yang melalui Laut Merah dan Terusan Suez.

"Untuk industri baja pemenuhan kebutuhan bahan baku bijih besi juga masih sangat tergantung dari beberapa negara di Eropa Timur, India dan seterusnya yang tentunya akan terdampak dari naiknya harga transportasi logistik akibat hal-hal yang di sebutkan di atas," tuturnya.

Industri yang bergantung pada impor ini akan berpotensi terdampak kenaikan biaya impor dan ongkos produksi. Alhasil, dunia usaha akan dilema dalam menentukan harga yang akan dijadikan acuan untuk mempertahankan volume produksi dan volume penjualan.

Kendati demikian, pelaku usaha logam dan mesin dapat mengambil momentum ini untuk bisa menjadi pemain di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan peralatan di industri minyak dan gas, makanan minuman, industri pupuk yang banyak memerlukan peralatan berbasis fabrikasi logam.

"Pemerintah tetap harus memberikan daya dorong berupa penciptaan lagi lagi ekosistem industri yang berpihak atau mendukung perkembangan industri manufaktur dalam negeri," terangnya.

Di sisi lain, untuk tekstil dan produk tekstil (TPT), pemerintah mulai memberikan aturan impor yang melindungi industri hilir lewat revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 8/2024.

Ketua Umum Indonesia Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) Nandi Herdiaman mengatakan, pihaknya mengapresiasi upaya pemerintah yang merevisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 terkait pengendalian impor barang, khususnya pada sektor pakaian jadi dan tekstil.

Pasalnya, revisi tersebut kembali memberlakukan syarat pertimbangan teknis (pertek) dari Kementerian Perindustrian untuk proses impor pakaian jadi. Kebijakan ini secara tak langsung dapat meminimalisir gempuran produk impor dari China yang belakangan menguasai pasar domestik.

“Walaupun aturan ini sempat tertunda beberapa bulan. Namun, kebutuhan industri sandang masih diperhatikan,” kata Nandi.

Pihaknya menilai langkah revisi tersebut sebagai komitmen nyata pemerintah dalam melindungi industri konveksi nasional, menciptakan iklim usaha yang lebih adil, serta menjaga keberlangsungan UMKM di sektor sandang.

Menurut Nandi, penerapan pertek juga merupakan angin segar bagi industri pakaian jadi dalam negeri. Namun demikian, pemerintah diminta lebih seksama dalam menerapkan pertek.

"Revisi ini merupakan angin segar bagi para pelaku konveksi lokal yang selama ini tertekan oleh derasnya impor pakaian jadi tanpa kendali teknis. Tapi pemerintah juga harus serius dalam pelaksanaannya, supaya jumlah impor dapat dikendalikan,” pungkasnya.

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper