Bisnis.com, JAKARTA — Kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 pada semester I mencatatkan defisit sebesar Rp197 triliun atau setara 0,81% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa pendapatan negara hingga Juni 2025 mencapai Rp1.210,1 triliun. Angka tersebut mengalami kontraksi 9% secara tahunan (year on year/YoY).
"Pendapatan negara terkontraksi 9% dipengaruhi oleh tren penurunan harga ICP, pengalihan dividen BUMN ke BPI Danantara, dan kebijakan PPN secara terbatas atas barang mewah," tertulis dalam paparan Sri Mulyani, dalam Rapat Kerja dengan Badan Anggaran DPR RI di Jakarta, Selasa (1/7/2025).
Pendapatan terbesar bersumber dari penerimaan pajak sebesar Rp837,8 triliun atau baru 38% dari target tahunan Rp2.189,3 triliun. Angka ini turun 6,2% dari periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) tercatat Rp477,2 triliun atau 92,9% dari target tahunan Rp513,6 triliun.
Adapun belanja negara per Juni mencapai Rp1.407,1 triliun, terdiri dari belanja pemerintah pusat Rp1.006,5 triliun dan transfer ke daerah Rp400,6 triliun. Realisasi belanja tersebut telah mencapai 38,8% dari pagu APBN 2025.
Outlook Defisit Melebar
Baca Juga
Dalam paparan kepada Banggar DPR RI, Sri Mulyani juga menyampaikan proyeksi pelebaran defisit APBN hingga akhir tahun menjadi Rp663 triliun atau 2,78% dari PDB, lebih tinggi dari target awal dalam APBN 2025 sebesar Rp616,2 triliun (2,53% PDB).
Meski demikian, pemerintah tidak berencana menutup pelebaran defisit dengan penerbitan surat utang tambahan. Sebagai gantinya, Kementerian Keuangan akan mengajukan izin kepada DPR untuk menggunakan Saldo Anggaran Lebih (SAL) sebesar Rp85,6 triliun.
"Kami akan meminta persetujuan DPR untuk menggunakan SAL Rp85,6 triliun, sehingga kenaikan defisit itu tidak harus dibiayai semua dengan penerbitan surat utang namun menggunakan cash yang ada,” jelas Sri Mulyani.
Outlook pendapatan negara hingga akhir 2025 diperkirakan hanya mencapai Rp2.865,5 triliun atau 95,4% dari target APBN sebesar Rp3.005,1 triliun. Penurunan ini dipicu oleh tidak terlaksananya kenaikan tarif PPN dari 11% ke 12%, serta pelemahan harga komoditas unggulan yang menekan basis pajak.
Dari sisi penerimaan perpajakan, outlook pajak tahun ini hanya sebesar Rp2.076,9 triliun, lebih rendah dari target APBN. Sementara penerimaan dari kepabeanan dan cukai diperkirakan melampaui target dengan proyeksi Rp310,4 triliun dari target Rp301,6 triliun. Hibah negara juga diperkirakan mencapai Rp1 triliun, melebihi target Rp600 miliar.
Sebaliknya, outlook belanja negara hingga akhir tahun diproyeksikan sebesar Rp3.526,5 triliun atau setara 97,4% dari pagu, yang antara lain akan digunakan untuk program-program prioritas pemerintah.
Outlook Pertumbuhan Ekonomi
Sri Mulyani juga memaparkan bahwa outlook pertumbuhan ekonomi nasional pada 2025 diturunkan menjadi 5%, lebih rendah dari asumsi APBN sebesar 5,2%. Bahkan lembaga-lembaga internasional memproyeksikan pertumbuhan hanya 4,7%.
“Kita perlu tetap waspada terhadap risiko global. Outlook 5% ini akan kami upayakan bisa dicapai dengan kebijakan fiskal yang bersifat counter-cyclical,” ujar Sri Mulyani.
Beberapa program prioritas seperti makan bergizi gratis, FLPP perumahan, Koperasi Merah Putih, dan Sekolah Rakyat akan mulai bergulir pada semester II/2025 dan diharapkan memberikan efek pengganda terhadap pertumbuhan ekonomi.
Adapun asumsi makro APBN 2025 kini diperbarui sebagai berikut:
- Pertumbuhan ekonomi: 4,7%–5,0%
- Inflasi: 2,2%–2,6%
- Suku bunga SBN 10 tahun: 6,8%–7,3%
- Nilai tukar: Rp16.300–16.800 per dolar AS
- Harga ICP: US$68–82 per barel
- Lifting minyak: 593.000–597.000 barel per hari
- Lifting gas: 976 juta–980 juta standar kaki kubik per hari