Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Marak Impor Batik Tiruan, Perajin Berkurang 40% dalam 4 Tahun Terakhir

Jumlah perajin batik nasional di 10 sentra produksi nasional turun 40% dalam kurun waktu 4 tahun terakhir.
Perajin mencanting kain di salah satu pusat produksi batik di Depok, Jawa Barat, Jumat (23/8/2024)./Bisnis-Arief Hermawan P
Perajin mencanting kain di salah satu pusat produksi batik di Depok, Jawa Barat, Jumat (23/8/2024)./Bisnis-Arief Hermawan P

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) mencatat jumlah perajin batik nasional di 10 sentra produksi nasional, seperti Jawa Tengah, Jawa Timur hingga Sumatra Barat, turun 40% dalam kurun waktu 4 tahun terakhir.

Ketua Umum APPBI Komarudin Kudiya memaparkan bahwa pada 2020, pengusaha batik mencapai 4.171 usaha, sedangkan pada 2024 hanya mencapai 2.503 usaha. 

"Dari tahun 2020-2024, makin berkurang, berkurangnya itu sekitar 40% dan sekarang di kuartal II/2025 ini menunjukkan data yang penurunannya sangat drastis sekali," kata Komarudin dalam rapat dengar pendapat umum di Badan Legislasi DPR RI, Senin (26/5/2025). 

Sementara itu, jika dilihat lebih terperinci pada empat sentra perajin batik di Jawa Tengah tercatat memiliki perajin batik sebanyak 82.550 orang pada 2020, turun hingga 49.530 orang pada 2024.

Di Jawa Timur, pada tahun 2020, perajin batik masih tercatat sebanyak 23.500 orang. Namun, pada tahun 2024, hanya 14.100 orang. Lalu, perajin batik di Jawa Barat sebanyak 15.000 orang pada 2020 dan turun menjdi 9.000 orang pada 2024. 

Lebih lanjut, perajin batik DI Yogyakarta tercatat sebanyak 8.000 orang pada 2020 dan turun menjadi 4.800 orang pada 2024. 

"Kita lihat penurunannya dari tahun 2020 dari 131.565 pekerja itu turun drastis jadi 78.939 pekerja, sekarang mungkin ada kemungkinan turun lagi, mungkin sekitar 75.000 pekerja jadi di beberapa daerah mengalami penurunan," tuturnya.

Komarudin menerangkan, sejumlah tantangan yang dihadapi pengusaha batik, salah satunya terkait maraknya batik tiruan impor yang membanjiri pasar domestik. 

"Kami sekarang ini yang paling terasa sekali adalah persaingan global dengan membanjirnya impor tekstil ilegal bercorak batik," imbuhnya. 

Adapun, saat ini di pasar domestik, tekstil bercorak batik atau batik tiruan hasil impor dijual dengan harga Rp17.000 per meter. Sementara itu, perajin batik lokal untuk membeli kain katun dari pabrik lokal menegeluarkan dana Rp15.000-Rp20.000 per meter. 

"Jadi bagaimana kita bisa bersaing dengan impor tekstil bercorak batik yang ilegal itu?," jelasnya. 

Lebih lanjut, dia menuturkan bahwa biaya produksi batik nasional sangat tinggi karena merupakan handmade langsung dari tenaga manusia. 

"Ketika membuat batik itu harus menggunakan tenaga manusia, tidak menggunakan mesin jadi otomatis harganya pun mengakibatkan HPP [harga pokok produksi] yang sangat tinggi," jelasnya.

Di sisi lain, terdapat tantangan lain bagi perajin batik nasional yakni ketergantungan kain dan pewarna impor, apalagi benang katun dan sutra. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper