Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Apindo Ungkap Tantangan Fiskal yang Mesti Dibenahi Dirjen Pajak Baru

Menurut Ajib, kondisi pencapaian bersifat ceteris paribus dan tanpa terobosan, berpotensi shortfall penerimaan pajak 2025 mencapai Rp100 triliun lebih.
Dirjen Pajak Bimo Wijayanto mengikuti Konferensi pers APBN Kita di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (23/5/2025). / Bisnis-Arief Hermawan
Dirjen Pajak Bimo Wijayanto mengikuti Konferensi pers APBN Kita di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (23/5/2025). / Bisnis-Arief Hermawan

Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menyoroti sejumlah tantangan fiskal tahun ini yang mesti segera diantisipasi oleh Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan yang baru dilantik. 

Adapun, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati telah melantik 22 pejabat eselon I di lingkungan Kemenkeu. Salah satu yang dilantik adalah Direktur Jenderal Pajak baru, Bimo Wijayanto, yang sebelumnya menjabat sebagai Asisten Deputi Investasi Strategis di Kemenko Marves. 

Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani mengatakan terdapat lima tantangan fiskal yang akan dihadapi tahun ini. Apalagi, mengingat target pajak di Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mencapai Rp2.183,9 triliun. 

“Sedangkan pencapaian pada triwulan 1 tahun 2025 hanya Rp. 322,6 triliun atau setara 14,7%. Kondisi ideal triwulan 1, seharusnya bisa mencapai 20% dari target pajak,” kata Ajib dalam keterangan tertulis, Sabtu (24/5/2025). 

Terlebih, dia juga menyoroti penerimaan pajak pada tahun 2024 yang shortfall sekitar Rp50 triliun. Padahal pada triwulan I/2024, pencapaian pajak mencapai 19,2%.

Menurut Ajib, apabila kondisi pencapaian hanya bersifat ceteris paribus dan tanpa terobosan, maka potensi shortfall penerimaan pajak tahun 2025 mencapai Rp100 triliun lebih.

Untuk itu, dia meminta Dirjen Pajak baru untuk mencermati sejumlah kondisi yang dapat menekan penerimaan perpajakan. Pertama, kondisi ekonomi yang cenderung melandai. 

Proyeksi pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya bisa mencapai angka konservatif 5,2%, dikoreksi karena kondisi domestik dan global yang fluktuatif. 

World Bank juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi hanya di kisaran 4,7%-4,9%. Angka ini terkonfirmasi pada pertumbuhan kuartal I/2025 yang hanya mencapai 4,87%. 

“Faktor pertumbuhan ekonomi ini akan memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan perpajakan,” ujarnya. 

Tantangan kedua yaitu grey economy di Indonesia yang belum terdeteksi oleh sistem perpajakan Indonesia. Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS) capaian produk domestik bruto (PDB) Indonesia tahun 2024 sebesar Rp22.139 triliun. 

Adapun, lebih dari 54% PDB tersebut ditopang oleh konsumsi rumah tangga, atau kisaran Rp12.000 triliun. 

Di sisi lain, penerimaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun 2024 sebesar Rp828,5 triliun. Kondisi tersebut juga karena sebagian restitusi dimasukkan pada periode tahun selanjutnya. 

“Dengan data-data tersebut, kisaran volume konsumsi sebesar Rp2.000 triliun sampai Rp4.000 triliun masih masuk grey economy,” tuturnya. 

Tak hanya itu, tantangan ketiga yakni utang jatuh tempo tahun 2025. Akibat scaring effect pandemi, kondisi fiskal tahun ini terbebani hutang jatuh tempo mencapai Rp800 triliun. 

Pemerintah sudah melakukan front loading hutang sampai dengan April 2025 mencapai Rp250 triliun. Namun, pemerintah disebut harus lebih memitigasi agar secara agregat sampai akhir tahun, utang APBN tidak melebihi 3% dari PDB.

“Tantangan keempat adalah program-program ultrapopulis pemerintah yang akan potensial menambah alokasi pengeluaran,” imbuhnya. 

Menurut dia, program-program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG), program Koperasi Merah Putih dan program 3 juta rumah, memerlukan kajian komprehensif dalam pengalokasian pengeluaran tambahan dari APBN. 

Di sisi lain, program pemerintah lain terkait Danantara, juga mereduksi penerimaan negara, yang sebelumnya dividen BUMN masuk ke negara melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), menjadi dikelola secara mandiri oleh Danantara. Hal ini disebut berpotensi mengoreksi penerimaan negara kisaran Rp90 triliun.

Terakhir, dia mendorong perbaikan Coretax, sebuah sistem layanan perpajakan terintegrasi yang diharapkan mempermudah dan meningkatkan compliance wajib pajak, justru menjadi masalah tersendiri, paling tidak dalam proses berjalan sampai Mei 2025. 

“Ketidaksiapan sistem dan mitigasi risiko, justru menjadikan cost compliance yang tinggi di sisi wajib pajak dan berkontribusi negatif terhadap penerimaan berjalan,” terangnya. 

Kemenkeu dinilai harus lebih memitigasi agar penerimaan negara bisa aman, karena penerimaan perpajakan ini menopang lebih dari 60% total belanja APBN. 

Untuk itu, ada 3 rekomendasi Apindo. Pertama, memberikan daya ungkit ekonomi lebih cepat. Kedua, mendesain ulang struktur belanja, dengan prinsip spending better. Ketiga, memperbaiki sistem, database dan layanan terhadap wajib pajak. 

“Coretax harus dievaluasi secara proporsional dan objektif untuk ke depannya,” tambahnya. 

Di samping itu, pemerintah juga disebut dapay mempertimbangkan dua hal lain terkait kebijakan untuk menambal potensi shortfall penerimaan.

“Pertama adalah opsi membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN). Kedua, adalah mendorong pemberlakuan tax amnesty jilid III. Hal ini bisa menambah potensi penerimaan negara kisaran Rp60 triliun sampai Rp130 triliun tambahan,” jelasnya.

Dalam hal ini, Apindo yang mewakili dunia usaha berharap perombakan struktur di Kementerian Keuangan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang akseleratif sekaligus menciptakan iklim berusaha yang positif.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper