Bisnis.com, JAKARTA – Posisi utang luar negeri swasta pada akhir Maret atau kuartal I/2025 tercatat senilai US$195,5 miliar yang setara dengan Rp3.238,7 miliar–kurs JISDOR Rp16.566 per dolar AS.
Total utang milik swasta tersebut mengalami kontraksi pertumbuhan sebesar 1,2% secara tahunan atau year on year (YoY). Menandakan tren penurunan utang swasta selama tujuh bulan beruntun.
Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus menyampaikan bahwa kredit pada dasarnya menjadi indikator gairah atau tidaknya sektor riil.
“Misal utang luar negerinya turun karena pembayaran utang, tapi pinjamannya melambat, di sisi lain utang dalam negeri atau kredit melambat, ini indikasi bahwa pelemahan [ekonomi] menahan ekspansi,” ujanya kepada Bisnis, Kamis (15/5/2025).
Memang kredit perbankan pada Maret 2025 tumbuh sebesar 9,16% YoY, lebih lambat dari Februari 2025 yang sebesar 10,3% maupun dari Maret 2024 yang mencapai 12,4%.
Bagi Heri, tak heran pertumbuhan ekonomi kuartal I/2025 menyusut karena pengusaha pun menahan ekspansi yang tercermin dari melambatnya penarikan utang pada periode tersebut.
Baca Juga
Heri menyampaikan sejatinya kredit suatu keniscayaan dalam berbisnis. Terlebih bagi sektor swasta, kredit menandakan pertumbuhan bisnis dan peningkatan produksi.
Kondisi perlambatan bisnis juga telah tercermin dari laju ekspansi industri manufaktur Indonesia pada Maret 2025 lalu yang turun ke level 52,4 dari Februari yang berada di level 53,6.
“Jadi, pesanannya turun, maka dia akan mengurangi penggunaan tenaga kerja, akan mengurangi penggunaan transportasi, arahnya nanti ke sana,” lanjut Heri.
Misalnya, dari sektor Pertambangan dan Penggalian terpantau jumlah utang luar negeri susut dari US$31,87 miliar pada Maret 2024 menjadi US$30,65 miliar pada Maret 2025.
Pada periode yang sama, sektor Pengadaan Listrik dan Gas juga mengalami penurunan jumlah ULN dari US$38 miliar pada Maret 2024 menjadi US$36,93 miliar pada Maret 2025.
Heri memandang untuk sektor pertambangan terpengaruh ketidakpastian global dan kegiatan hilirisasi produk pertambangan.
Di mana kini ekspor produk mentah sudah semakin sedikit dan beralih ke produk dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Alhasil, kata Heri, pesanan luar negeri untuk barang mentah tersebut turun dan membatasi penarikan utang luar negeri serta tak lagi ekspansi.