Bisnis.com, JAKARTA — Ekonom menilai langkah korporasi menurunkan porsi utang luar negeri menjadi pilihan rasional di tengah situasi yang penuh ketidakpastian.
Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede menyampaikan pilihan tersebut semakin masuk akal terutama dalam kondisi tensi geopolitik, volatilitas pasar, serta tren suku bunga global yang relatif tinggi.
Kondisi tersebut mendorong perusahaan untuk mengelola risiko nilai tukar dan risiko refinancing dengan lebih konservatif.
“Mengurangi eksposur terhadap ULN juga membantu korporasi mempertahankan fleksibilitas keuangan serta mengurangi potensi beban pembayaran utang yang tinggi di tengah pelemahan rupiah,” ujarnya, dikutip pada Jumat (16/5/2025).
Mengacu data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) edisi Mei 2025 yang melaporkan posisi akhir Maret atau kuartal I/2025 tercatat ULN swasta–termasuk BUMN dan swasta lainnya—senilai US$195,5 miliar yang setara dengan Rp3.238,7 miliar (kurs JISDOR akhir Maret 2025 Rp16.566 per dolar AS).
Posisi tersebut mengalami kontraksi 1,2% secara tahunan (year on year/YoY), lebih rendah dari kontraksi kuartal sebelumnya sebesar 1,6% (YoY). Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tren turunnya porsi utang swasta telah terjadi sejak September 2024.
Baca Juga
Berdasarkan sektor ekonomi, porsi utang luar negeri paling jumbo berasal dari industri pengolahan yang mencapai US$49,28 miliar atau setara Rp816,44 triliun.
Berbeda dengan Industri Pengolahan yang terpantau terus mengalami pertumbuhan jumlah utang, sektor Pertambangan dan Penggalian justru susut dari US$31,87 miliar pada Maret 2024 menjadi US$30,65 miliar pada Maret 2025.
Sektor Pengadaan Listrik dan Gas juga mengalami penurunan jumlah ULN dari US$38 miliar pada Maret 2024 menjadi US$36,93 miliar pada Maret 2025.
Masih dalam periode yang sama, Jasa Keuangan dan Asuransi susut dari US$40,26 miliar menjadi US$38,76 miliar. Kemudian sektor Real Estate turut turun dari US$4,9 miliar menjadi US$3,35 miliar.
Lebih lanjut, Josua melihat kecenderungan perusahaan swasta untuk menurunkan ULN dapat mengindikasikan dua hal.
Pertama, Josua memandang adanya kemungkinan perusahaan mungkin cenderung tidak sedang dalam fase ekspansi agresif, sehingga kebutuhan pendanaan eksternal berkurang.
Kedua, perusahaan lebih memilih menggunakan instrumen domestik yang lebih stabil dari segi nilai tukar seperti obligasi korporasi domestik, pinjaman perbankan lokal, atau pembiayaan internal melalui retained earnings yang meningkat seiring dengan kinerja bisnis yang lebih hati-hati pasca pandemi.
“Hal ini menunjukkan sikap korporasi yang cenderung konservatif menghadapi tantangan ekonomi global dan domestik,” lanjutnya.