Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ada Perang India-Pakistan, Pengusaha Sawit Pastikan Ekspor CPO Jalan Terus

DMSI memastikan hingga saat ini laju ekspor CPO Indonesia, baik ke India maupun Pakistan masih tetap berlanjut, di tengah adanya perang India—Pakistan
Pekerja beraktivitas di kebun sawit milik PT Dharma Satya Nusantara Tbk. (DSNG)./dsn.co.id
Pekerja beraktivitas di kebun sawit milik PT Dharma Satya Nusantara Tbk. (DSNG)./dsn.co.id

Bisnis.com, JAKARTA — Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) memastikan hingga saat ini laju ekspor minyak kelapa sawit mentah alias crude palm oil (CPO) Indonesia, baik ke India maupun Pakistan masih tetap berlanjut, di tengah adanya perang India—Pakistan.

Ketua Umum DMSI Sahat Sinaga mengatakan ekspor CPO Indonesia mengatakan ekspor CPO Indonesia ke India dan Pakistan masih berlanjut, namun menyesuaikan jalur pengiriman dengan langsung diekspor ke negara tujuan alias tanpa transit.

“Belum [ada pengaruh dari perang India-Pakistan ke ekspor CPO]. Belum terlihat sampai sekarang. Ekspor kita masih tetap jalan ke India, ke Pakistan. Tetapi, ke Pakistan misalnya, kapal tidak boleh melalui India dulu, baru ke sana [Pakistan]. Enggak. Langsung ke Pakistan, langsung ke India,” ujar Sahat saat ditemui di sela-sela acara Opening Ceremony dan Press Conference Palm Oil Expo Indonesia 2025 (Palmex) di JIEXPO Kemayoran, Jakarta, Rabu (14/5/2025).

Menurut Sahat, pemerintah harus memanfaatkan keuntungan geografis Indonesia dengan mengembangkan pelabuhan di luar Pulau Jawa. Pasalnya, dia menjelaskan, jika pengiriman ekspor CPO hanya berpusat di Jakarta maka biaya logistik menjadi lebih mahal.

Cost-nya sekitar US$25 lebih mahal, transport cost. Jadi kalau kita bikin Papua kawasan ekonomi khusus, karena di Papua banyak juga sawit. Ngapain dibawa ke Jakarta. Jadi kita taruh di Papua. Ke barat, kita taruh di pantai Sumatera Barat,” tuturnya.

Dia menjelaskan, jika biaya logistik pengiriman ekspor sawit ditekan maka akan membuat sawit Indonesia memiliki daya saing dengan negara lain.

“Mari Indonesia memanfaatkan geographical advantage dalam menghadapi pasar global,” ujarnya.

Di sisi lain, Sahat juga menyoroti sengketa lahan yang menjadi tantangan utama yang dihadapi industri kelapa sawit dalam negeri di tahun ini. Dia berharap agar pemerintah menyelesaikan polemik lahan di tahun ini.

Terlebih lagi, ungkap dia, kondisi perkebunan sawit di Indonesia yang juga sudah tidak lagi produktif sehingga diperlukan peremajaan dan penanaman kelapa sawit.

“Sudah tua [kondisi perkebunan sawit Indonesia]. Planting enggak bisa. Kenapa? Karena sertifikat lahan enggak ada. Katanya masuk kawasan,” imbuhnya.

Dalam catatan Bisnis, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) mengungkap terdapat 68 konflik sawit sepanjang 2024. Angkanya naik dibandingkan periode 2023 yang mencapai 60 konflik.

Jika dilihat secara rinci, laporan Elsam menunjukkan konflik sawit paling banyak terjadi pada Mei dan Desember 2024 yang mencapai 9 kasus, sedangkan terendah terjadi pada April dan Februari 2024 yang masing-masing sebanyak 1 dan 2 kasus.

Manajer Pengetahuan Elsam Sueb Zakaria mengatakan laporan data konflik sawit ini diperoleh dari pemberitaan media massa sepanjang 2024, mesin pencarian data, hingga validitas data diversifikasi.

Dia mengungkap konflik sawit terjadi di daerah-daerah pusat produksi sawit. Di mana, Riau menjadi provinsi paling banyak kejadian konflik sawit, disusul Jambi dan Bengkulu pada tahun lalu.

“Konflik terjadi di pusat-pusat produksi sawit, di Riau, Jambi, Bengkulu, dan sebagainya. Riau terbanyak yang kebetulan juga sebagai daerah sawit terluas di Indonesia,” kata Sueb dalam Forum Editor: Potret Konflik Sawit dan Pentingnya Penerapan Prinsip Keberlanjutan di Arya Duta Menteng, Jakarta, Rabu (30/4/2025).

Berdasarkan data Elsam, sengketa lahan menjadi konflik sawit utama sepanjang 2024. Sueb menyebut sengketa lahan menjadi pemicu konflik terbanyak yang mencapai 70%, disusul konflik akibat persoalan kemitraan dan lingkungan.

Menurutnya, bergulirnya konflik sawit di Indonesia salah satunya dipicu oleh sengketa lahan dan ketimpangan akses terhadap tanah.

“Kenapa konflik itu terjadi? Pemicunya 70% itu konflik lahan. Ada tumpang tinggi lahan di sana, ada juga soal penyerebotan. Jadi ada yang legal, ada yang ‘tidak legal’,” ungkapnya.

Dia menjelaskan, arti kata legal yang dimaksud adalah perusahaan yang mendapatkan izin usaha seluas yang digarap, namun izin tersebut berbenturan dengan kepemilikan masyarakat setempat yang tidak memiliki kepemilikan. Pemicu lainnya adalah terkait isu lingkungan hingga ketenagakerjaan atau perburuhan.

Alhasil, konflik sawit kerap berakhir pada penangkapan sebanyak 45 orang, kriminalisasi 34 orang, dan serangan fisik sebanyak 11 orang pada tahun lalu.

“Kriminalisasi itu diproses lebih lanjut, kalau penangkapan jadi setelah kerusuhan, setelah bentrok misalnya, pasti ada banyak petani ataupun peserta demonstrasi itu ditangkap, tapi kemudian dilepas lagi,” tandasnya.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Rika Anggraeni
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper