Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Pengusaha Khawatir Jika Filipina Setop Ekspor Nikel, Ini Dampaknya ke RI

FINI menyoroti potensi kekurangan stok dan kenaikan harga jika Filipina benar-benar melarang ekspor nikel mulai Juni 2025
Ilustrasi. Salah satu pabrik pengolahan baja di Kawasan Industri Morowali/imip.co.id
Ilustrasi. Salah satu pabrik pengolahan baja di Kawasan Industri Morowali/imip.co.id

Bisnis.com, JAKARTA — Forum Industri Nikel Indonesia (FINI) menyoroti potensi kekurangan stok dan kenaikan harga jika Filipina benar-benar melarang ekspor nikel mulai Juni 2025.

Meski belum pasti, pemerintah Filipina saat ini tengah meratifikasi rancangan undang-undang (RUU) larangan ekspor nikel tersebut. Langkah ini diambil pemerintah Filipina sebagai upaya untuk meningkatkan industri pertambangan hilir, termasuk mendorong penambang untuk membangun pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter.

Ketua Umum FINI Arif Perdana Kusumah mengatakan, pihaknya terus memantau isu tersebut dan mempelajari detil dampak dari kebijakan Filipina. Menurutnya, jika Filipina melarang ekspor nikel industri di RI bakal terdampak, mengingat Indonesia masih melakukan impor dari negara itu.

"Jika hal tersebut benar terjadi, perkiraan dampaknya yaitu terhadap pengaruh pada ketersediaan bahan baku berupa bijih nikel di dalam negeri, persediaan nikel di tingkat global, pengaruh pada peningkatan harga, termasuk harga nikel Indonesia," ucap Arif kepada Bisnis, Senin (12/5/2025).

Meski RI lebih dulu melarang ekspor nikel dan wajib mengolah di dalam negeri, faktanya Indonesia masih melakukan impor nikel dari Filipina. Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS), impor nikel dari Filipina mencapai 110.950 ton atau senilai US$4,45 juta per Februari 2025.

Sementara itu, impor nikel dari Filipina sepanjang 2024 mencapai 10,18 juta ton atau senilai US$445,09 juta. Angka itu melonjak dibanding impor nikel Filipina pada 2023 yang hanya 374.453,9 ton atau senilai US$16 juta.

Secara total, impor nikel dari Filipina sepanjang 2023 hingga 2025 mencapai 10,66 juta ton atau senilai US$465,54 juta.

Arif pun mengingatkan pemerintah harus ikut mengantisipasi dampak dari larangan ekspor nikel Filipina. Menurutnya, pemerintah perlu memastikan terpenuhinya keseimbangan antara ketersediaan bahan baku berupa bijih nikel dengan rencana produksi dari masing-masing pabrik pengolahan dan pemurnian yang ada di Tanah Air. 

"Ke depannya produk hasil pengolahan dan pemurnian komoditas nikel dan turunannya dari Indonesia harus tetap mempunyai daya saing yang kuat di pasar global," ucap Arif.

Filipina merupakan pemasok bijih nikel terbesar kedua di dunia dengan sebagian besar pengirimannya ditujukan ke pasar utama China.

Pemerintah negara itu telah mendorong para penambang untuk berinvestasi dalam fasilitas pemrosesan alih-alih hanya mengirimkan bijih mentah.

Upaya ini diharapkan meniru keberhasilan pemasok nikel nomor satu, yakni Indonesia dalam meningkatkan pendapatan pertambangan.

Larangan ekspor bijih nikel oleh Indonesia pada 2020, mendorong nilai ekspor nikelnya dari US$3 miliar menjadi US$30 miliar dalam 2 tahun. Hal ini terjadi karena perusahaan-perusahaan China membangun smelter di Indonesia.

Menurut Presiden Senat Filipina Francis Escudero mengatakan, Filipina dapat mengikuti jejak Indonesia, sebagai contoh negara kaya sumber daya yang mendorong nilai lebih dari mineralnya.

“Dari segi mineral, Filipina adalah negara kaya yang berpura-pura miskin,” katanya beberapa waktu lalu. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper