Bisnis.com, JAKARTA — PT Bukit Asam Tbk. (PTBA) buka suara soal permintaan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia agar perusahaan menjalankan proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME).
Bahlil sendiri mengatakan pihaknya segera memberikan penugasan secara resmi kepada PTBA. Dia pun mengatakan, akan mencabut sebagian Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) PTBA jika tak menjalankan proyek DME.
Sekretaris Perusahaan PTBA Nico Chandra mengatakan, PTBA terus aktif dalam melakukan kajian dan pengembangan proyek-proyek hilirisasi batu bara.
"PTBA juga secara proaktif berkoordinasi dengan pihak-pihak terkait, termasuk Kementerian ESDM, untuk memastikan proyek-proyek hilirisasi ini dapat berjalan sesuai dengan rencana dan memberikan manfaat optimal bagi negara," kata Nico kepada Bisnis, Kamis (8/5/2025).
Menurutnya, PTBA terus memperluas inisiatif hilirisasi batu bara. Hal itu antara lain diwujudkan dengan menggandeng Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam pilot project konversi batu bara menjadi Artificial Graphite dan Anode Sheet, material penting untuk bahan baku baterai Lithium-ion (Li-ion).
Nico menyebut, soft launching proyek yang menjadi terobosan dalam hilirisasi ini, telah sukses dilaksanakan di Kawasan Industri Tanjung Enim pada tahun lalu.
Baca Juga
"Langkah ini menegaskan komitmen PTBA dalam mendukung kebijakan pemerintah terkait hilirisasi batubara serta memperkuat ketahanan energi nasional," kata Nico.
Sebelumnya, Bahlil mengingatkan PTBA untuk menjalankan proyek gasifikasi batu bara menjadi DME. Dia pun mengatakan, akan mencabut sebagian WIUP PTBA jika tak menjalankan proyek itu.
Bahlil menyebut pihaknya segera memberikan penugasan secara resmi kepada perusahaan pelat merah itu agar menjalankan proyek DME. Sekalipun, PTBA telah merumuskan alternatif hilirisasi lain seperti gas sintetis, grafit sintetis, hingga asam humat.
"Nanti kita akan kasih tugas [laksanakan DME], kalau tidak, kita ambil sebagian wilayahnya," tegas Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (8/5/2025).
PTBA sendiri selama ini memang tengah berupaya melakukan hilirisasi batu bara menjadi DME. Namun, proyek yang diharapkan menjadi alternatif pengganti impor Liquified Petroleum gas (LPG) itu masih jalan di tempat.
Terlebih, usai Air Products memutuskan untuk mundur dari kerja sama dengan PTBA pada 2023 silam. Belakangan PTBA telah menemukan mitra baru, yakni perusahaan asal China East China Engineering Science and Technology Co., Ltd. (ECEC).
Kendati demikian, Direktur PTBA Arsal Ismail menyebut harga DME masih terbilang mahal. Oleh karena itu, faktor keekonomian disebut masih menjadi tantangan.
Dalam hal ini, PTBA telah melakukan perhitungan dan kajian yang menunjukkan harga produk DME justru jauh lebih mahal jika dibandingkan dengan impor LPG.
"Pertama itu tantangan ekonomian, di mana estimasi harga DME hasil produksinya masih lebih tinggi dari harga patokan yang ditetapkan oleh Kementerian ESDM, dan juga analisa perhitungan kami masih lebih tinggi dari harga LPG impor," ucap Arsal dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi XII DPR RI, Senin (5/5/2025).
Dia menyebut, ECEC mengusulkan Processing Service Fee (PSF) indikatif senilai US$412 hingga US$488 per ton. Angka tersebut lebih besar dibanding ekspektasi Kementerian ESDM, yakni senilai US$310 per ton.
Di sisi lain, harga DME yang dapat dihasilkan yakni senilai US$911-US$987 per ton. Angka ini juga lebih tinggi patokan DME yang diusulkan oleh Kementerian ESDM pada 2021 yakni sebesar US$617 per ton, belum termasuk subsidi.
Harga DME itu juga jauh lebih mahal dari rata-rata impor LPG ke Indonesia tercatat sebesar $435 per ton pada 2024.
Arsal lantas memberikan perbandingan biaya subsidi LPG dengan DME apabila harga patokan DME US$911 per ton. Berdasarkan perhitungan, nilai subsidi untuk DME bisa mencapai US$710 per ton atau Rp123 triliun per tahun.
Angka tersebut lebih besar dibandingkan nilai subsidi untuk LPG pada kesetaraan DME saat ini sebesar US$474 per ton atau Rp82 triliun per tahun. Artinya, akan ada risiko kenaikan subsidi sebesar Rp41 triliun per tahun.