Bisnis.com, JAKARTA — Dunia usaha mengkhawatirkan tarif resiprokal Amerika Serikat berisiko membuka ruang impor barang ilegal dari China semakin membanjiri pasar Tanah Air.
Selain itu, pengenaan tarif yang signifikan terhadap China berpotensi meningkatkan ancaman dumping barang dari China ke negara selain AS, termasuk Indonesia.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani menuturkan risiko dumping barang dari China ini lantaran Indonesia merupakan pasar dengan jumlah populasi yang sangat besar.
Imbasnya, tarif Trump yang signifikan akan membawa dampak sistemik bagi peta perdagangan global, termasuk Indonesia. Ditambah, lanjut Shinta, China merupakan salah satu negara asal impor utama AS.
Untuk diketahui, China menyumbang 14% terhadap total impor AS, atau senilai US$462 miliar 2024.
“Dan ini berpotensi sangat, potensi bahwa China ini akan mengalihkan arus balik China ke negara lain, termasuk ke Indonesia sebagai pasar pelarian,” kata Shinta dalam Bisnis Indonesia Forum bertajuk Diteror Trump dan Diancam Xi Jinping, Bagaimana Nasib Ekonomi Indonesia di Wisma Bisnis Indonesia, Jakarta, Rabu (7/5/2025).
Baca Juga
Dia pun mengkhawatirkan adanya risiko banjir produk China yang akan semakin tinggi. Padahal, Shinta mengungkap sebelum adanya tarif resiprokal AS, Indonesia telah menghadapi tantangan impor ilegal dari China yang diperkirakan mencapai US$3,97 miliar dalam kurun 2018—Mei 2024.
Untuk itu, Apindo menilai pemerintah perlu memperkuat pengawasan barang impor ilegal hingga tarif dumping melalui instrumen anti-dumping dan safeguard.
“Ini sesuatu yang menurut saya, kita harus jaga, jangan kita jadi pasar dumping negara-negara lain,” imbuhnya.
Di samping itu, Shinta menuturkan pasca pengumuman tarif resiprokal AS, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami penurunan hingga 0,8%. Adapun, kenaikan tertinggi mencapai Rp17.000 terjadi pada 7 April 2025 dan dikhawatirkan bisa mengancam industri padat karya yang saat ini masih tergantung dengan bahan baku impor.
Tercatat, sebanyak 90% bahan baku manufaktur Indonesia masih bergantung pada impor dan 55% dari keseluruhan struktur biaya industri merupakan bahan baku.
Menurut Shinta, yang menjadi ancaman utama dari volatilitas nilai tukar bukan hanya kenaikan harga, melainkan ketidakpastian di dalam struktur biaya berusaha.
Di sisi lain, industri padat karya juga tengah mengalami berbagai tekanan domestik, salah satunya biaya berusaha yang tinggi. Saat ini, biaya logistik, biaya perizinan, biaya pinjaman, upah tenaga kerja di Indonesia relatif tidak kompetitif dibandingkan negara lainnya.
Tekanan lainnya adalah hambatan regulasi. Di mana, sebanyak 43% perusahaan menilai regulasi yang ada belum mendukung kinerja produksi/penjualan. Diikuti masalah impor barang murah/ilegal, daya saing SDM yang rendah, pelemahan daya beli, serta ancaman keamanan investasi.