Bisnis.com, JAKARTA - Usai macet parah yang melanda wilayah Tanjung Priok beberapa waktu lalu, Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Tanjung Priok, PT Pelindo (Persero) serta pemangku kepentingan lainnya menggencarkan upaya mitigasi agar kejadian serupa dapat ditanggulangi dengan saksama bila berulang kembali di masa depan.
Pada awalnya kemacetan terjadi pada 17 April tetapi tidak bisa diurai sehingga berlanjut keesokan harinya. Karena kondisinya yang sudah terjepit di tengah pemukiman, kemacetan di sekitar Pelabuhan Tanjung Priok sesungguhnya merupakan hal yang sudah biasa. Karenanya, berharap pelabuhan tersibuk di Indonesia itu tidak macet jelas sesuatu yang tidak mungkin. Hanya saja, harus diakui, kemacetan yang terjadi pada hari itu parah sekali; sampai-sampai media melabelinya sebagai ‘macet horor’.
Melalui media, sudah muncul beberapa opsi untuk memitigasi macet Pelabuhan Tanjung Priok supaya jangan lagi sampai menjadi horor kembali. Sebagai regulator/penguasa tertinggi di Pelabuhan Tanjung Priok, KSOP setempat mewacanakan pembatasan yard occupancy ration (YOR) sebesar 65%. Ini berarti bila ambang batas itu terlampaui, kapal peti kemas yang hendak bongkar-muat di terminal yang ada di pelabuhan itu—NPCT-1, JICT, TPK Koja dan Mustika Alam Lestari/MAL—tidak boleh disandarkan hingga nilai YOR-nya di bawah ambang batas yang ditetapkan.
Kebijakan ini diambil setelah pihak regulator, melalui pernyataan Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhy, mengklaim bahwa kemacetan horor disebabkan pelanggaran kapasitas terminal oleh pengelola pelabuhan. Bukan akibat kebijakan pembatasan kendaraan angkutan Lebaran selama 16 hari yang diambilnya.
Klaim sang menteri dibantah oleh banyak pengamat dan pelaku usaha yang menilai bahwa kebijakan pembatasan yang dia berlakukan memiliki kontribusi dalam kemacetan horor. Menurut mereka, ketika pembatasan truk dijalankan, ada banyak kapal (peti kemas) meng-omit sandar/bongkar-muat di terminal yang yang ada di Pelabuhan Tanjung Priok. Padahal mereka sudah memilik perjanjian pelayanan alias window dengan pengelola terminal.
Situasi ini tentu saja mengirim sinyal kepada pelayaran global bahwa terjadi kongesti di pelabuhan, sesuatu yang tidak baik bagi citra Indonesia. Pihak Kemenhub sepertinya tidak tahu atau tidak mau peduli akan ihwal ini. Ketika pembatasan truk dicabut usai Lebaran kapal-kapal yang “bergentayangan” tadi merapat dan bongkar-muat di terminal-terminal yang ada. Tidak hanya di NPCT-1 seperti yang diberitakan oleh media.
Baca Juga
Menurut Pelindo, di NPCT-1-lah kemacetan horor berasal. Terminal ini dinilai oleh Direktur Utama Pelindo Arif Suhartono ceroboh dan tidak cermat dalam melakukan perencanaan operasi. Senada-seirama dengan Kemhub, Pelindo menyimpulkan bahwa kemacetan horor di Pelabuhan Tanjung Priok tidak ada kaitannya dengan pembatasan angkutan saat Lebaran Idulfitri 2025/1446 H. Lonjakan aktivitas di Pelabuhan Tanjung Priok merupakan kombinasi dari adanya tiga kapal yang sandar berbarengan di NPCT-1, peningkatan kepadatan lapangan penumpukan yang melebihi ambang normal.
Sementara pada waktu bersamaan, alat bongkar muat di lapangan juga harus melayani receiving dan delivery truk peti kemas yang juga melebihi kapasitas peralatan.
Ke depannya, lanjut Arif, NPCT1 diminta untuk mengurangi jumlah kapal yang ada. Di samping itu, ada inisiatif lain untuk melakukan pembatasan truk atau pengendalian truk, yaitu dengan penerapan terminal booking system (TBS) dan juga akan mendorong penerapan dual move operation untuk angkutan pelabuhan. Sedangkan untuk solusi jangka panjang, telah disiapkan pembangunan jalan baru New Priok Eastern Access atau NPEA yang menghubungkan secara langsung New Priok Terminal ke jalan tol pelabuhan.
IMPLIKASI
Rencana Kemenhub dan Pelindo agar kemacetan horor tidak terjadi lagi di masa mendatang tentunya sudah memperhitungkan semua aspek. Namun, implikasi rencana itu terhadap praktik bisnis pelabuhan ke depannya dan, ini paling penting, biaya logistik nasional sepertinya luput diperhitungkan. Pemberlakuan pembatasan yard occupancy ration (YOR) yang akan diterapkan, sebetulnya telah dijalankan sejak drama dwelling time mencuat pada periode pertama kepemimpinan Presiden Jokowi, sesungguhnya merupakan upaya menutup akses kapal sandar di Pelabuhan Tanjung Priok.
Yang bermasalah manuver kontainer di area terminal tetapi penyelesaiannya dengan membatasi sandar kapal. Ibarat sakit kepala, tapi obat yang diberikan malah justru untuk penyakit diare. Mana mungkin sembuh. Dunia internasional pasti akan meresponsnya dengan menggenakan berbagai surcharge kepada cargo owner untuk setiap halangan/pembatasan yang mereka hadapi. Terbayangkan biaya logistik kita akan terus naik jadinya?
Dari pengalaman yang ada selama ini, pemberlakuan batasan YOR lazimnya dikuti dengan pengalihan peti kemas (overbrengen) dari lapangan tumpuk atau container yard ke lini 2 yang biasanya berada di luar area pelabuhan. Langkah ini diambil demi menjaga jangan sampai peti kemas menumpuk lebih dari ambang batas 65%. Perpindahan ini jelas tidak gratis; mulai dari lift on-lift off di terminal, trucking dan lift on-lift off di depo lini 2.
Semuanya akan ditagihkan kepada pemilik barang atau yang mewakilinya, dikenal dengan istilah forwarder, dan selanjutnya akan ditagihkan kepada konsumen dalam bentuk harga barang yang tinggi. Dalam beberapa waktu belakangan praktik overbrengen ini sudah banyak berkurang, khususnya di Pelabuhan Tanjung Priok. Namun, jika kebijakan pembatasan YOR di-gaskan, bisa jadi ia akan marak kembali.
Yang juga akan berpeluang mengerek biaya logistik di Pelabuhan Tanjung Priok adalah praktik memindahkan kapal yang sudah terikat window pada satu terminal tertentu hanya karena terminal yang bersangkutan dinilai sudah melebihi ambang batas YOR. Dalam pengoperasian terminal kontainer pengguna jasa terminal diberikan harga khusus, berbagai skema menarik, dll atas kontrak window yang ditandatangani dengan manajemen terminal.
Dengan perjanjian ini terminal akan berusaha sekuat tenaga menyediakan dermaga, peralatan bongkar-muat dan sebagainya ketika kapal yang berkontrak sandar sesuai jadwalnya. Inilah yang terjadi ketika tiga kapal sandar secara bersamaan di NPCT-1 saat macet horor lalu. Terminal hanya menjalankan kewajiban seperti yang tercantum dalam kontrak. Tidak lebih, tidak kurang.
Ketika sebagian dari kapal-kapal itu diminta sandar di terminal lain untuk mengurai kemacetan pasca-Lebaran kemarin, jelas terjadi dilema bagi pelayaran: berapa biaya yang harus keluarkan untuk pandu-tunda, biaya dermaga, biaya alat bongkar-muat, dsb di terminal yang bukan window mereka? Pastinya lebih mahal.