Bisnis.com, JAKARTA — Lembaga internasional telah mengeluarkan analisis terbarunya terkait proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia, termasuk Indonesia, untuk periode 2025 di tengah ancaman tarif Trump dan disrupsi dagang.
Teranyar, Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) merevisi ke bawah pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,1% menjadi 4,7% pada 2025. Hal tersebut sejalan dengan pemangkasan proyeksi ekonomi global dari 3,3% menjadi 2,8%.
Pada awal April lalu, Asian Development Bank (ADB) juga mengeluarkan proyeksi terbarunya, namun belum memperhitungkan dampak tarif resiprokal dari Presiden AS Donald Trump.
Pemerintahan Prabowo Subianto sendiri menargetkan pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan tahun atau fullyear 2025 di angka 5,2%, lebih optimistis dari realisasi 2024 yang sebesar 5,03%.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan bahwa rencana tarif Amerika Serikat dapat mengurangi potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,3%—0,5%.
Sri Mulyani menuturkan dengan adanya jeda 90 hari untuk menerapkan pungutan tersebut memberikan waktu untuk mendiskusikan solusi-solusi.
Baca Juga
Bendahara Negara tersebut mengatakan bahwa Indonesia menyambut baik jeda 90 hari ini karena memberikan kesempatan untuk memitigasi atau menghindari risiko negatif dari tarif-tarif tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi.
“Perkiraan situasi saat ini, sebelum jeda, dapat mengurangi potensi pertumbuhan kita antara 0,3% dari PDB hingga 0,5%,” katanya dalam sebuah wawancara di sela-sela pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentral Asean di Malaysia, dikutip dari Reuters, Kamis (10/4/2025).
Berikut Proyeksi Terbaru Pertumbuhan Ekonomi RI 2025 dari IMF, ADB, dan Bank Dunia
IMF
Proyeksi untuk Indonesia sebesar 4,7% tersebut lebih rendah 0,4% dari analisis IMF pada Oktober 2024 maupun Januari 2025 yang sebesar 5,1%.
Director Research Department IMF Pierre‑Olivier Gourinchas menyebutkan bahwa ketegangan perdagangan saat ini akan sangat berdampak pada perdagangan global.
IMF memproyeksikan bahwa pertumbuhan perdagangan global akan terpangkas lebih dari setengahnya dari 3,8% tahun lalu menjadi 1,7% tahun ini.
Sementara bagi mitra dagang—Indonesia merupakan mitra dagang AS—tarif sebagian besar bertindak sebagai guncangan permintaan eksternal yang negatif. Melemahkan aktivitas dan harga, meskipun beberapa negara bisa mendapatkan keuntungan dari pengalihan perdagangan.
Kondisi tersebutlah yang membuat IMF merevisi ke bawah pertumbuhan ekonomi berbagai negara untuk 2025.
Dirinya memandang bahwa semua negara terkena dampak negatif dari lonjakan ketidakpastian kebijakan perdagangan, karena bisnis memangkas pembelian dan investasi, sementara lembaga keuangan menilai kembali eksposur peminjam mereka.
ADB
ADB mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 5% untuk 2025, meski lembaga tersebut memangkas ekonomi kawasan Asia dan Pasifik.
Dalam laporan terbaru Asian Development Outlook (ADO) April 2025, produk domestik bruto (PDB) diproyeksikan akan tumbuh sebesar 5% pada 2025 dan meningkat menjadi 5,1% pada 2026.
ADB menilai konsumsi swasta yang stabil dan peningkatan investasi secara bertahap akan menopang pertumbuhan, dengan belanja sosial berbasis masyarakat yang kuat yang memungkinkan distribusi pendapatan yang lebih merata.
“Permintaan domestik akan menjadi pendorong utama pertumbuhan, mengimbangi ekspor neto yang terbatas,” tulis ADB, dikutip pada Rabu (9/4/2025).
Bahkan, ADB menyoroti program Makan Bergizi Gratsi (MBG) Prabowo dan Gibran memberikan dampak pemerataan yang positif dengan menstimulasi kegiatan ekonomi dan lapangan kerja di daerah.
Sebagai catatan, perkiraan pertumbuhan disusun sebelum pengumuman tarif baru oleh pemerintah Amerika Serikat pada tanggal 2 April, sehingga proyeksi dasar hanya mencerminkan tarif yang berlaku sebelumnya.
Bank Dunia
Bank Dunia pada Januari lalu memberikan angka yang sama untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 dan 2026 sebesar 5,1%.
Keberadaan ancaman tarif tinggi dari presiden terpilih AS Donald Trump juga telah Bank Dunia perhitungkan.
Dalam sebuah model makroekonomi global digunakan untuk mengkalibrasi kemungkinan implikasi kenaikan tarif AS.
Simulasi menunjukkan bahwa kenaikan tarif AS sebesar 10 poin persentase pada semua mitra dagang pada tahun 2025, tanpa adanya tarif pembalasan yang diberlakukan sebagai tanggapan, akan mengurangi pertumbuhan negara berkembang (emerging market and developing economies/EMDE) sebesar 0,1% setiap kenaikan tarif sebesar 10% tersebut.
Lain halnya bila ternyata adanya tarif pembalasan yang proporsional oleh mitra dagang, efek negatif pada pertumbuhan global dan EMDE relatif terhadap baseline akan meningkat menjadi sekitar 0,3% dan 0,2%.
Melihat tarif universal 10% yang berlaku dalam masa 90 hari penundaan, artinya terdapat potensi penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia menjadi 5% (tanpa tarif timbal balik) dan 4,8%—4,9% jika ada tarif balasan.
Adapun, Bank Dunia baru akan merilis proyeksi terbarunya pada Juni 2025 mendatang.