Bisnis.com, JAKARTA - Perang dagang yang dipicu kebijakan kontroversial Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump justru membuat investor lebih berhati-hati melakukan diversifikasi portofolio, tak serta-merta membawa arus kapital 'pulang kampung' ke berbagai instrumen dolar AS.
Direktur Pengembangan Big Data Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menjelaskan fenomena tersebut tercermin dari geliat pasar obligasi AS yang cenderung melandai kendati pasar saham telah anjlok.
"Tidak selalu AS yang menjadi pusat perhatian, karena ternyata dolar AS juga sedang dalam tekanan. Jadi, investor cenderung melirik pilihan lain," jelasnya dalam diskusi virtual bertajuk Perang Dagang dan Guncangan Pasar Keuangan Indef, dikutip Sabtu (19/4/2025).
Eko menekankan bahwa fenomena tersebut terjadi karena beberapa kebijakan domestik hingga perang dagang yang dipicu Trump justru berpeluang membawa inflasi mengintai AS, sehingga kemungkinan besar moneter pun ikut lebih ketat.
Alhasil, suku bunga acuan The Fed pun diperkirakan akan tetap bertahan lama, bahkan ada kecenderungan meningkat tipis. Berdasarkan survei analis, The Fed dipercaya masih akan mempertahankan suku bunga pada rapat 7 Mei nanti, tetapi dipercaya akan dikerek pada rapat Juni sampai Oktober.
Tak heran, beberapa harga instrumen save haven seperti emas dan beberapa pasar uang yang kuat pun melejit, seiring munculnya lonjakan permintaan investor.
Baca Juga
"Ternyata setelah investor melepas pasar saham, pilihan mereka lebih kepada mata uang global lain. Ada Yen Jepang, Euro, dan Franc Swiss. Sebelum perang dagang pun mata uang ini trennya sudah cenderung meningkat, dan saat ini bisa disebut safe haven dari situasi yang terjadi," tambahnya.
Terlebih, dari sisi Trump sendiri yang cenderung senang memberikan kejutan-kejutan selama masa kepemimpinannya, membuat investor melirik mata uang yang memiliki kepastian lebih.
Ekonom senior Indef Iman Sugema menambahkan bahwa kondisi geopolitik terkini membuat investor harus lebih cermat dan berhati-hati, sebab dinamika melemahnya posisi tawar dolar AS sudah berada di depan mata.
"Ini adalah awal mula dari bergesernya kekuatan mata uang untuk menjadi mata uang perdagangan dunia. Kalau selama ini apa-apa dalam dolar AS, sekarang sudah mulai juga Euro dan Renminbi [China]. Ini patut dicermati karena ke depan bisa jadi sangat cepat pergeserannya," jelasnya dalam diskusi.
Terlebih, perdagangan dunia saat ini dominan dipegang oleh negara-negara anggota BRICS, mulai dari anggota utamanya, Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan, termasuk Indonesia di dalamnya.
"Kalau mereka memutuskan untuk membuat mata uang dagang bersama, dunia persilatan berubah total itu petanya. Yang kita tidak ketahui adalah seberapa cepat ini terjadi. Trump sendiri sudah mengancam akan mengenakan tarif 100% kalau ini terjadi. Padahal, Indonesia termasuk. Jadi, ini sedang ada pertarungan besar, sehingga investor tidak bisa terlambat mengikuti dinamika yang terjadi," tutupnya.