Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

AS Kritik Bea Cukai Indonesia, Besar Potensi Korupsi hingga Beban Administrasi

Berdasarkan 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers, AS merilis daftar hambatan perdagangan di 59 negara termasuk Indonesia.
Petugas Ditjen Bea dan Cukai mengecek pengiriman barang dari luar negeri. Dok. Ditjen Bea Cukai Kemenkeu.
Petugas Ditjen Bea dan Cukai mengecek pengiriman barang dari luar negeri. Dok. Ditjen Bea Cukai Kemenkeu.

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah Amerika Serikat mengungkapkan praktik pemeriksaan barang oleh Bea Cukai Indonesia berpotensi besar ciptakan praktik korupsi hingga beban administrasinya tinggi.

Merujuk laporan bertajuk 2025 National Trade Estimate Report on Foreign Trade Barriers, Amerika Serikat (AS) merilis daftar hambatan perdagangan di 59 negara mitra dagangnya termasuk Indonesia.

Di Indonesia, salah satu yang menjadi sorotan yaitu hambatan di Bea Cukai. Dalam laporan yang diterbitkan oleh Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) itu, disampaikan banyak perusahaan AS yang kerap mengeluhkan praktik bea cukai di Indonesia.

"Khususnya asesmen bea masuk. Pejabat bea cukai Indonesia sering mengandalkan daftar harga acuan daripada menggunakan nilai transaksi sebagai metode penentuan nilai bea masuk utama," tulis laporan tersebut, dikutip Sabtu (19/4/2025).

Padahal, menurut USTR, nilai transaksi seharusnya menjadi metode penilaian utama seperti yang diatur dalam Perjanjian Penilaian Bea Cukai (CVA) WTO.

Tak hanya itu, eksportir AS melaporkan penentuan nilai bea masuk kerap berbeda-beda di berbagai wilayah untuk produk yang sama.

Lebih lanjut, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 16/2021 juga menjadi sorotan. Dalam beleid tersebut, diatur kewajiban verifikasi pra-pengiriman oleh perusahaan yang ditunjuk (surveyor) untuk berbagai macam produk termasuk elektronik, tekstil dan alas kaki, mainan, makanan dan minuman, dan kosmetik.

Masalahnya, USTR mengungkapkan hingga 31 Desember 2024 Indonesia belum memberitahukan aturan tersebut kepada WTO sesuai dengan Perjanjian WTO tentang Pemeriksaan Pra-Pengiriman. 

Begitu juga PMK No. 190/2022, yang menetapkan operasi kepabeanan untuk barang tidak berwujud seperti transmisi atau unduhan elektronik, termasuk persyaratan prosedural dan klasifikasi berdasarkan Bab 99 daftar tarif kepabeanan Indonesia.

"Para pemangku kepentingan melaporkan bahwa peraturan tersebut menciptakan beban administratif yang signifikan ke industri AS, dengan memberlakukan persyaratan penyimpanan dokumen baru yang tidak terdefinisi dan tak pasti," tulis laporan USTR.

Bahkan, AS telah menyampaikan kekhawatirannya tentang aturan tersebut ke Komite Fasilitasi Perdagangan WTO sejak Juni 2023.

Selanjutnya, USTR menyoroti ketentuan 'bonus' kepada petugas Bea Cukai hingga 50% dari nilai barang sitaan atau jumlah bea yang terutang apabila temukan pelanggaran.

Padahal, berdasarkan Perjanjian Fasilitasi Perdagangan WTO, Indonesia harus menghindari pemberian insentif seperti itu.

"Indonesia merupakan salah satu dari sedikit mitra dagang utama AS yang masih memiliki sistem insentif tersebut. Sistem ini menjadi perhatian karena menimbulkan potensi korupsi dan tambahan biaya, ketidakpastian, serta kurangnya transparansi," jelas USTR.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper