Bisnis.com, JAKARTA – Pelemahan rupiah mengakibatkan reaksi yang berbeda terhadap dunia usaha. Bagi eksportir, rupiah yang melemah bisa menjadi berkah. Di sisi lain, bagi importir harus siap-siap tertekan oleh tekanan nilai tukar.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan pengusaha yang bergerak di sektor berbasis ekspor, terutama di sektor agrikultur, kehutanan, dan pertambangan, akan sangat diuntungkan karena sebagian besar output usahanya berorientasi ekspor.
“Mereka mendapat keuntungan dari depresiasi rupiah. Harga ekspor menjadi lebih kompetitif di pasar global sehingga barang-barang mereka menjadi lebih menarik di mata pembeli internasional,” kata Shinta kepada Bisnis, baru-baru ini.
Selain itu, kata Shinta, eksportir akan meraup keuntungan yang lebih besar ketika rupiah terus melemah. Pelemahan rupiah membuat konversi pendapatan dalam dolar ke rupiah meningkat, memperbesar margin keuntungan bagi para eksportir.
Kendati demikian, ‘berkah’ ini dianggap bisa tidak optimal jika proses produksi para eksportir bergantung kepada bahan baku impor yang menyebabkan keuntungan dari pelemahan nilai tukar akan digerus oleh kenaikan biaya produksi.
Nasib berbeda justru dialami para importir baik yang mendatangkan barang konsumsi maupun bahan baku. Pelemahan rupiah, kata Shinta, menimbulkan kenaikan biaya yang dapat mendorong kenaikan harga jual, dan berujung pada penurunan permintaan pasar karena pelemahan daya beli konsumen.
Baca Juga
“Pelemahan rupiah memberi tekanan besar pada pelaku usaha yang menggunakan bahan baku utama impor,” ucapnya.
Data Apindo menunjukkan terjadi peningkatan biaya impor bahan baku sebesar 7,44% secara bulanan pada Februari 2025. Kondisi ini, sebutnya, memperlihatkan beban riil yang ditanggung sektor industri akibat pelemahan rupiah.
Adapun, kenaikan biaya input akan menggerus margin dan dapat mendorong harga jual naik. Alhasil, inflasi akan terdorong karena proses transmisi imported inflation yang dapat berujung pada penurunan daya beli masyarakat dan pelemahan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Mengingat mayoritas mesin ekonomi kita berasal dari konsumsi masyarakat.
Dia menambahkan kenaikan harga barang impor atau komponen dalam mata uang asing akan mengganggu struktur biaya dan daya saing. Terutama untuk pelaku UMKM yang lebih sensitif terhadap fluktuasi biaya.
“Meskipun PMI manufaktur Indonesia membaik ke level 53,6 pada Februari 2025 yang menunjukkan pemulihan sisi supply nasional, tapi hal ini lebih didorong oleh permintaan musiman saat ramadan, bukan karena fundamental yang kuat, seperti kenaikan penghasilan masyarakat,” ujarnya.
Oleh karena itu, pelemahan rupiah dinilai oleh kalangan pengusaha dalam negeri dapat melemahkan sisi supply (produksi) dan juga demand (konsumsi) perekonomian di Indonesia.
Shinta pun menilai pentingnya sinergi antara kebijakan moneter, fiskal, dan perdagangan untuk mengatasi dampak pelemahan rupiah dan risiko kurs. Kalangan pengusaha merekomendasikan beberapa hal kepada pemerintah.
Pertama, menjaga stabilitas nilai tukar rupiah yang lebih mencerminkan kondisi fundamentalnya. Kedua, menyeimbangkan antara kepentingan daya saing ekspor dan melindungi konsumsi domestik, khususnya masyarakat menengah-bawah.
Ketiga, melakukan diversifikasi sumber bahan baku dengan produk lokal untuk mengurangi ketergantungan pada impor dan risiko valas yang ditimbulkan.
Keempat, menguatkan koordinasi stabilitas harga dan daya beli dengan memastikan kebutuhan domestik dengan kebijakan impor-ekspor telah matching serta alokasi dan program subsidi yang terarah.
Kelima, mengoptimalkan kebijakan DHE melalui pemberian insentif menarik dan fleksibilitas pengelolaan dana.
Pelaku usaha pun berharap implementasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2025 tentang Devisa Hasil Ekspor Sumber Daya Alam (DHE SDA) yang efektif awal Maret 2025 berjalan lancar agar benar-benar berdampak kepada perekonomian nasional secara luas.
Dalam hal ini, pemerintah berupaya mengoptimalkan DHE dalam menyokong stabilitas Perekonomian nasional dan membuat skema insentif bagi eksportir yang akan memarkir dana di dalam negeri, serta mekanisme pengelolaan yang lebih fleksibel dibanding peraturan sebelumnya.