Bisnis.com, JAKARTA - Pengamat menilai rencana pemerintah untuk mengerek impor liquefied petroleum gas (LPG) dan minyak mentah dari Amerika Serikat (AS) cukup rasional.
Langkah pemerintah itu berkaitan dengan upaya negosiasi tarif impor timbal balik (reciprocal tariff) sebesar 32% yang diterapkan Presiden AS Donald Trump kepada RI.
Selain meningkatkan impor LPG dan minyak mentah, pemerintah juga berjanji akan membeli drilling rig atau peralatan yang digunakan untuk mengebor sumur migas dari AS. Peningkatan impor itu bertujuan mengurangi defisit dagang AS dari Indonesia sehingga diharapkan dapat melunakkan kebijakan tarif AS.
Founder dan Advisor ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, upaya meningkatkan impor LPG dan minyak mentah dari AS cukup memungkinkan. Menurutnya, hal ini juga tak bertolak belakang dengan upaya pemerintah mengerek produksi dalam negeri.
Dia menjelaskan, peningkatan impor LPG bisa menjadi daya tawar RI kepada AS. Apalagi, jika pemerintah mau membuka lebih lebar keran investasi untuk perusahaan migas AS.
"Jika itu memang menjadi bagian dari negosiasi-diplomasi dagang kita dengan AS terkait tarif Trump ini. Itu langkah rasional dari pemerintah," ucap Pri Agung kepada Bisnis, Kamis (10/4/2025).
Baca Juga
Pri Agung juga menilai peningkatan impor migas tak jadi sandungan rencana pemerintah mengerek produksi dalam negeri. Khususnya, peningkatan produksi dari Blok Masela dan reaktivasi 10.000 sumur idle yang direncanakan Presiden Prabowo Subianto.
Menurut Pri Agung, produksi dari Masela dan reaktivasi sumur idle itu tidak akan menaikkan produksi migas RI secara signifikan.
"Jadi, ya bisa dikatakan malah [peningkatan impor migas AS] tidak ada kaitan dan pengaruhnya dengan langkah menaikkan impor migas dari AS ini," kata Pri Agung.
Senada, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Padjadjaran (Unpad) Yayan Satyakti menilai langkah pelibatan teknologi AS dalam reaktivasi sumur idle dan kilang minyak menjadi pilihan realistis.
"Saya kira bagus ya, karena memang AS, merupakan negara yang kompeten untuk teknologi migas. Tetapi harus hati-hati dari sisi kontrak dan adjustment cost akibat pergeseran tersebut," ucap Yayan.
Dia menjelaskan, adjustment cost ini berhubungan dengan biaya kesiapan regulasi dan rekalkulasi proyek. Yayan juga menyebut, pada dasarnya AS lebih kompeten untuk migas dibandingkan pemain yang sekarang ada.
"Jika kita lihat teknologi migas relatif efisien walaupun memang yang menjadi tanda tanya apakah pemain baru atau pemain lama. Karena kalau pemain lama AS sudah tahu kondisi cadangan migas yang mungkin lebih akurat dibandingkan kita sendiri," tuturnya.
Kendati demikian, Yayan mengingatkan pemerintah tetap menghitung dengan baik sebagai bahan renegosiasi dan mengukur multiplier effect dengan akurat terhadap tarif resiprokal Trump.
Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mulai menghitung kebutuhan impor LPG dan minyak mentah dari AS. Dia menjelaskan, impor minyak dan LPG selama ini datang dari Singapura, Timur Tengah, Afrika, hingga Amerika Latin.
Demi meningkatkan impor dari AS, pembelian LPG dan minyak dari negara-negara tadi pun bakal dikurangi. Hingga saat ini, Bahlil mengatakan, pemerintah masih menghitung berapa banyak impor LPG dan minyak yang bisa diambil dari AS.
"Dalam exercise, kami lagi menghitung," ucap Bahlil di Kantor Kementerian ESDM, Rabu (9/4/2025).
Dia pun memastikan pihaknya juga menghitung tingkat keekonomian impor dari AS. Pasalnya, impor dari AS kemungkinan membutuhkan biaya lebih besar. Menurut Bahlil, hal ini terjadi karena biaya transportasi dari AS lebih tinggi dibandingkan Timur Tengah.
"Harga LPG dari Amerika sama dengan dari Middle East. Jadi, saya pikir semua ada cara untuk kita menghitung dalam bisnis kan yang penting adalah produk yang diterima di negara kita adalah dengan harga yang kompetitif," tutur Bahlil.