Bisnis.com, JAKARTA - Perayaan Idulfitri tak hanya ditunggu-tunggu umat muslim, tetapi juga menjadi perayaan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Di tahun 2025 ini, perayaan Idulfitri berjalan berbeda. Antusiasme masyarakat mudik berkurang cukup drastis. Perputaran uang selama Ramadan juga tidak lagi sebanyak tahun-tahun sebelumnya.
Banyak masyarakat kini tidak lagi boros dan bahkan justru banyak yang menahan kebutuhan belanja mereka. Akibat simpanan tabungan yang terbatas, masyarakat lebih memilih untuk mengutamakan belanja kebutuhan pokok, seperti makan sehari-hari, mencicil rumah, mencicil kendaraan bermotor, dan uang sekolah anak daripada membeli barang-barang sekunder, apalagi tersier.
Ada sejumlah indikasi yang bisa dijadikan dasar kenapa perayaan Idulfitri tahun ini cenderung tidak seperti tahun-tahun sebelumnya.
Pertama, berkurangnya jumlah penduduk yang melakukan ritual mudik. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, arus mudik tahun ini diprediksi turun. Hasil riset Kementerian Perhubungan menyebutkan bahwa jumlah pemudik pada perayaan Idulfitri 2025 berpotensi turun menjadi 146,48 juta jiwa atau hanya setara dengan 52% dari populasi Indonesia. Jumlah itu turun sekitar 24% jika dibandingkan dengan tahun lalu yang mencapai 193,6 juta orang, atau sekitar 71,7% dari jumlah penduduk Indonesia.
Biaya transportasi dan bahan bakar yang makin mahal menyebabkan masyarakat harus menyediakan anggaran 20%—30% lebih banyak dibandingkan tahun sebelumnya untuk ongkos mudik.
Pada 2025, diperkirakan rata-rata keluarga harus mengalokasikan Rp 3 juta—Rp5 juta untuk biaya mudik. Padahal pada tahun 2024, angka ini hanya sekitar Rp2,5 juta—Rp4 juta. Bagi masyarakat yang tidak menjadi korban PHK dan usahanya masih baik-baik saja, mungkin kenaikan baya 20%—30% tidak menjadi masalah.
Kedua, terjadinya penurunan daya beli masyarakat. Pada tahun-tahun sebelumnya, mal dan pusat perbelanjaan biasanya selalu ramai dikunjungi pembeli menjelang perayaan Idulfitri. Pada tahun ini, kondisinya berbeda.
Berdasarkan survei Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), penjualan produk tekstil lokal pada bulan Januari—Maret 2025 hanya tumbuh 3%. Angka ini sangatlah rendah, terutama bila dibandingkan dengan pertumbuhan 15% pada periode yang sama pada 2024.
Masyarakat mungkin masih mengalokasikan anggaran untuk membeli baju baru, tetapi dengan bujet yang sangat ketat. Barangkali baju baru hanya untuk anak-anak, sedangkan para orang tua lebih memilih memakai baju yang sudah dimiliki. Menurut estimasi, pada tahun ini, rata-rata pengeluaran keluarga untuk busana perayaan Idulfitri diperkirakan hanya sekitar Rp500.000—Rp 800.000 atau turun dari Rp750.000—Rp1,2 juta pada 2024.
Ketiga, terjadinya gelombang PHK di berbagai daerah yang menyebabkan tidak sedikit masyarakat terpaksa kehilangan mata pencaharian. Menjelang perayaan Idulfitri yang biasanya disambut gembira karena identik dengan kucuran THR, pada awal 2025, justru diwarnai berita sedih. Sejak 2024, tercatat telah terjadi 77.965 kasus PHK, dan pada awal 2025 diperkirakan ada tambahan 4.050 pekerja terpaksa harus kehilangan pekerjaan.
Sektor manufaktur dan tekstil yang selama ini menjadi tumpuan para pekerja untuk mencari nafkah, kini menjadi sektor yang justru paling terdampak lesunya kondisi perekonomian nasional maupun global. Kebijakan pemerintah yang membuka keran impor produk garmen menyebabkan sektor manufaktur, khususnya industri tekstil, dalam negeri harus gulung tikar karena tak kuat menahan banjir produk impor garmen dari China.
Harapan daya beli masyarakat kembali tumbuh sebetulnya digantungkan pada kucuran THR, baik untuk aparatur sipil negara (ASN) maupun karyawan atau pekerja swasta. Untuk para ASN, kita tahu pemerintah telah mengucurkan THR sekitar Rp50 triliun dan sekitar Rp120 triliun untuk sektor swasta. Harapannya, gelontoran dana THR ini dapat menjadi penyelamat pergerakan sektor riil, khususnya konsumsi masyarakat.
Apakah THR akan dapat berperan menjadi pengungkit daya beli masyarakat? Inilah pertanyaan krusial yang perlu disikapi hati-hati. Kalau merujuk hasil survei Bank Indonesia pada 2025, ternyata hanya 55% masyarakat yang menggunakan THR untuk belanja kebutuhan perayaan Idulfitri 2025.
Angka ini turun 12% dari angka 67% pada tahun lalu. Sebanyak 30% responden yang disurvei di antaranya lebih memprioritaskan pelunasan utang, sementara 15% memilih menyimpan dana THR untuk kebutuhan darurat.
Dengan melihat pergeseran gaya hidup dan pola konsumsi masyarakat yang harus ‘mengencangkan ikat pinggang’ karena harus menghadapi berbagai tekanan, bisa dipastikan multiplier effect THR tidak akan tumbuh seperti yang diharapkan.
Data menunjukkan, proyeksi konsumsi selama Ramadan 2025 memang diperkirakan akan mencapai Rp1.188 triliun, tetapi pertumbuhannya ternyata diprediksi hanya sekitar 5%—7%. Angka ini lebih rendah bila dibandingkan dengan pertumbuhan 9%—12% pada 2023 dan 2024.
Ketika kondisi ekonomi masih dirasa tidak menentu dan masyarakat harus lebih berhati-hati menentukan prioritas kebutuhan hidupnya, harus diakui tidak banyak hal yang dapat dilakukan.
Saat ini, kita hanya bisa berharap kondisi perekonomian global dapat lebih kondusif, AS tidak mengeluarkan kebijakan yang aneh-aneh, dan masyarakat mampu mengembangkan mekanisme survival yang lebih kenyal menyikapi ancaman krisis.