Bisnis.com, JAKARTA – Kementerian Kesehatan (Kemenkes) sedang menyusun Rancangan Peraturan Kesehatan (R-Permenkes) sebagai peraturan pelaksana Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024.
Namun, penyusunan ini menuai polemik karena diduga sarat intervensi asing dengan dengan susupan pasal-pasal Framework Convention on Tobacco Contorl (FCTC) atau Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau yang diinisiasi oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) yang mendorong diterapkannya kemasan rokok tanpa identitas merek di Indonesia.
Akademisi Fisipol Universitas Negeri Surabaya, Dr Firre An Suprapto mengingatkan bahwa Kemenkes tidak bisa serta-merta mengadopsi FCTC dalam penyusunan regulasi di Indonesia, terlebih Indonesia tidak meratifikasi perjanjian tersebut.
“Kemenkes sebagai inisiator yang mendorong penerapan peraturan tersebut harus berkaca bahwa Indonesia belum meratifikasi FCTC sehingga tidak bisa dijadikan landasan hukum atau peraturan perundangan nasional. Hal ini perlu dilihat dari berbagai sisi. Perlindungan kesehatan juga perlu mempertimbangkan sisi ekonomi, sosial dan lainnya," ujar Firre dalam siaran pers, Kamis (28/3/2025).
Ia juga mengingatkan bahwa ada pihak yang terdampak dari regulasi yang mengekang. Sehingga pembuat kebijakan harus melibatkan pihak yang terdampak.
"Kemenkes sebagai lembaga yang akan mengeluarkan regulasi tersebut harus lebih aktif memberikan sosialisasi dengan melibatkan para pihak yang terkena dampak atas kebijakan tersebut. Termasuk dalam Rancangan Permenkes sehingga tidak menimbulkan polemik baru," imbuhnya.
Baca Juga
Ke depan, Firre yang juga menjabat Sekjen Masyarakat Kebijakan Publik Indonesia (Makpi) juga menegaskan dalam implementasi regulasi apapun, termasuk turunan PP No 28 tahun 2024 agar sejalan dengan amanat Undang-undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional Bab II Pasal 2 yang mengamanatkan agar pelaksana kebijakan dapat menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar waktu, antar fungsi pemerintah maupun antara pusat dan daerah.
"Termasuk terkait peraturan daerah [Perda] yang ditetapkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan [Lex superiori derogat legi inferiori]. Di samping itu, Perda sebagai bagian dari sistem peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum sebagaimana diatur dalam kaidah penyusunan Perda," papar Firre.
Di lain kesempatan, Anang Zunaedi, Wakil Ketua Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (Akrindo) meyayangkan bahwa di tengah kondisi perlambatan ekonomi saat ini, justru semakin kencang dorongan untuk mengimplementasikan regulasi polemik yang menyulitkan masyarakat, seperti larangan jualan rokok dengan jarak 200 meter dari wilayah Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
“Kami sejak awal menolak tegas PP Kesehatan dan aturan teknisnya dalam Rancangan Permenkes karena memberatkan membatasi gerak pedagang. Pemerintah tolong lah lihat realita di masyarakat. Bagi pedagang kecil, semua peraturan ini memberatkan sekali. Ini bukan sekadar soal kehilangan pendapatan, tapi ancaman tutup usaha, ekonomi keluarga dan masyarakat hancur. Ujungnya bisa lahir konflik sosial ,” ujar Anang.
Akrindo menilai bahwa Kemenkes seolah menjadi lembaga superbodi, yang overlap mengurusi sampai ranah ekonomi dan perdagangan. Begitu juga dengan kebijakan pengendalian tembakau yang sarat intervensi asing namun mengancam kesejahteraan masyarakat Indonesia, menurut Anang, harusnya ditinjau ulang.
“Sudahi, stop pembahasan aturan yang memberatkan masyarakat. Peraturan di atasnya saja masih bermasalah [PP 28/2024]. Saat ini potensi daya beli masyarakat tidak kelihatan. Bukan stuck lagi, tapi perlambatan ekonomi nyata terjadi. Lihat saja saat jelang peak season kali ini, tidak kelihatan denyut daya beli masyarakat. Kalau masih ada dorongan peraturan eksesif ini, pedagang yang selama ini kerja mandiri, tidak merepotkan pemerintah, kok justru mau dimatikan keberlangsungan usahanya?” tutup Anang.