Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Taktik Hadapi Perang Dagang, China Tahan Belanja

Pemerintah China tidak terburu-buru merealisasikan belanja anggaran pada awal tahun ini, meski dibayangi ancaman perang dagang dengan Amerika Serikat.
Bendera China di Museum Nasional China, Beijing. Bloomberg
Bendera China di Museum Nasional China, Beijing. Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA — Pemerintah China tidak terburu-buru merealisasikan belanja anggaran pada awal tahun ini, meski dibayangi ancaman perang dagang dengan Amerika Serikat.

Dilansir dari Bloomberg, Senin (24/3/2025), anggaran publik umum dan rekening dana pemerintah—dua buku fiskal utama pemerintah China—naik menjadi 5,65 triliun yuan ($779 miliar) dalam dua bulan pertama, meningkat sebesar 2,9% dari periode yang sama tahun lalu.

Kendati demikian, jumlah tersebut hanya sekitar 13,38% dari pengeluaran yang direncanakan pemerintah untuk setahun penuh. Pada periode yang sama, realisasi tersebut menjadi yang paling lemah sejak 2022.

“Pertumbuhan belanja sedikit melambat terutama karena pemerintah perlu menyimpan kekuatan fiskal untuk menghadapi ketidakpastian yang akan datang guna memastikan ekonomi terus pulih,” menurut ahli strategi senior di Australia & New Zealand Banking Group, Zhaopeng Xing.

Sementara itu, pertumbuhan konsumsi, investasi, dan produksi industri China meningkat lebih dari yang diperkirakan para ekonom pada Januari-Februari 2025. Realisasi tersebut memberi pemerintah China waktu untuk menahan stimulus ke perekonomian.

Sebelumnya, para pejabat pemerintahan sudah berulang kali mengatakan bahwa masih banyak cukup ruang dan cara untuk menggenjot perekonomian meski berada di bawah tekanan dalam beberapa bulan mendatang setelah Presiden AS Donald Trump menaikkan tarif ke lebih banyak perusahaan China.

Di sisi lain, total pendapatan negara dari dua sumber utama turun 2,9% menjadi 5,02 triliun yuan pada dua bulan pertama tahun ini. Penerimaan pajak terus menurun, sementara penjualan tanah oleh pemerintah daerah merosot hingga 15,7%.

Akhirnya, kesenjangan antara pengeluaran dan pendapatan membuat pemerintah China menerbitkan surat utang besar-besaran. Pembiayaan obligasi pemerintah bersih pada Januari-Februari mencapai hampir 2,4 triliun yuan, rekor tertinggi untuk periode yang sama.

Sementara itu, Perdana Menteri China Li Qiang menyatakan negaranya siap menghadapi gejolak usai Presiden AS Donald Trump bersiap mengumumkan kebijakan tarif baru pada bulan depan.

Dalam pertemuan China Development Forum, Li mengatakan negara-negara harus membuka pasar untuk menghadapi fragmentasi ekonomi yang semakin besar. Adapun, pertemuan itu dihadiri oleh para pemimpin bisnis global dan Senator Partai Republik AS, Steve Daines, yang sedang berkunjung.

Li juga menegaskan kembali janji bank sentral bahwa para pembuat kebijakan akan memangkas suku bunga dan rasio persyaratan cadangan ketika tepat waktu. Dia juga berjanji untuk menawarkan lebih banyak dukungan ketika diperlukan untuk memastikan ekonomi berjalan lancar.

"Ketidakstabilan dan ketidakpastian sedang meningkat. Saat ini, saya pikir lebih penting bagi masing-masing negara kita untuk lebih membuka pasar, dan bagi semua bisnis kita untuk lebih banyak berbagi sumber daya mereka," ujar Li dikutip dari Bloomberg, Senin (24/3/2025).

Para eksekutif termasuk Tim Cook dari Apple Inc., Cristiano Amon dari Qualcomm Inc., Albert Bourla dari Pfizer Inc., dan Amin Nasser dari Saudi Aramco menghadiri konferensi dua hari tersebut.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper