Bisnis.com, JAKARTA — Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) mengungkapkan minat invetor asing untuk masuk ke pengembangan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional masih cenderung rendah. Hal ini dinilai karena tidak didukung kondisi pasar dan regulasi yang tegas.
Wakil Ketua API David Leonardi mengatakan investasi dapat dikatakan efektif apabila didukung oleh daya beli dan permintaan pasar yang baik agar dapat memberikan dampak positif bagi industri dan negara.
“Kondisi pasar yang kurang menguntungkan ini membuat investasi dalam bentuk apa pun menjadi tidak efektif,” kata David kepada Bisnis, Senin (24/3/2024).
Dia menerangkan, kondisi pasar TPT nasional maupun global belum stabil. Terlebih, di pasar domestik masih terdapat kebijakan relaksasi impor tanpa diimbangi dengan kebijakan perlindungan pasar dalam negeri.
Kebijakan tersebut telah menyebabkan masuknya produk jadi ke pasar Indonesia, yang berdampak pada penurunan pesanan bagi industri dan IKM.
“Bahkan, pada masa Lebaran yang biasanya meningkatkan permintaan, pesanan tidak mengalami kenaikan yang signifikan,” ujarnya.
Baca Juga
Sementara itu, menanggapi adanya rencana pemberian insentif revitalisasi mesin yang diberikan pemerintah, David mengatakan pelaku usaha mengapresiasi rencana kebijakan tersebut guna meningkatkan produktivitas sektor industri padat karya.
Untuk diketahui, pemerintah bersiap menerbitkan insentif revitalisasi mesin lewat subsidi kredit investasi sebesar 5% bagi industri padat karya skala kecil dan menengah, termasuk industri tekstil dan produk tekstil. Untuk mendukung kebijakan ini, negara akan menyediakan dana sebesar Rp20 triliun.
Namun, guyuran kredit investasi dikhawatirkan tidak akan mencapai target yang diharapkan. Pasalnya, kondisi pasar saat ini belum membaik dan permintaan terus menurun.
“Hal serupa juga berlaku bagi investasi, tanpa adanya regulasi yang tegas dan jelas, investor akan enggan menanamkan modalnya di Indonesia,” tuturnya.
Lebih lanjut, David mengatakan dengan kondisi pasar yang belum stabil dan permintaan yang masih lemah, upaya revitalisasi mesin serta peningkatan produktivitas berisiko terhambat.
“Kami belum dapat memberikan banyak komentar terkait kebijakan kredit investasi ini karena dampaknya belum terasa, dan skema kredit tersebut masih belum sepenuhnya diketahui,” ujarnya.
Dalam hal ini, dia mendorong pemerintah untuk fokus pada perbaikan regulasi yang harus selaras dengan kebijakan berkaitan dengan industri TPT agar tercipta perlindungan yang optimal.
Perlindungan yang dimaksud tidak hanya menjaga rantai pasok industri TPT, tetapi juga memberikan dampak positif bagi negara, khususnya dalam hal penyerapan tenaga kerja.
Realisasi Investasi
Merujuk pada data Kementerian Perindustrian (Kemenperin) terdapat peningkatan realisasi investasi sektor tekstil, pakaian jadi dan alas kami menjadi Rp39,21 triliun pada 2024 atau naik 31,1% dari tahun sebelumnya Rp29,92 triliun.
Adapun, industri pakaian jadi, yang merupakan industri padat karya, investasinya meningkat dari Rp4,53 triliun di tahun 2023 menjadi Rp10,20 triliun di tahun 2024 atau naik sebesar 124,9%.
Terlebih, pada kuartal I/2025, terdapat 4 industri tekstil dan pakaian jadi yang resmi mendapatkan Surat Keterangan Usaha (SKU) dengan total investasi mencapai Rp304,43 miliar. Investasi tersebut diperkirakan akan menyerap tenaga kerja sebanyak 1.907 orang.
Kendati demikian, sebelumnya Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan perusahaan tekstil tersebut tutup dipicu maraknya impor ilegal yang membanjiri pasar domestik, sementara pengendalian arus impor dinilai tak dijaga ketat oleh pemerintah.
"Tahun 2024 sudah banyak pabrik yang tutup. Sekitar 60 perusahaan di sektor hilir dan tengah industri tekstil telah berhenti beroperasi. Akhirnya, sekitar 250.0000 karyawan mengalami PHK," kata Redma.
Redma menuturkan, maraknya impor ilegal memperparah kondisi industri tekstil dan produk tekstil (TPT) yang saat ini disebut tengah memasuki fase deindustrialisasi selama 10 tahun terakhir.