Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Ambisi Tumbuh 8% Kian Berat: IHSG Jeblok, OECD Pangkas Proyeksi, PHK di Sana-sini

Prabowo mengahadapi sejumlah sentimen negatif untuk mengerek pertumbuhan ekonomi mulai dari kinerja IHSG, pelambatan ekonomi hingga badai PHK di sana-sini.
Investor mengamati layar informasi harga saham di Jakarta, Rabu (5/3/2025). Bisnis/Fanny Kusumawardhani
Investor mengamati layar informasi harga saham di Jakarta, Rabu (5/3/2025). Bisnis/Fanny Kusumawardhani

Bisnis.com, JAKARTA -- Presiden Prabowo Subianto menghadapi tantangan cukup besar untuk mewujudkan impiannya membawa ekonomi Indonesia tumbuh 8%.

Tren pemutusan hubungan kerja alias PHK di sektor padat karya, potensi stagnasi ekonomi, hingga kinerja indeks harga saham gabungan atau IHSG yang masih babak belur bisa menjadi ganjalan besar jika tidak segera ditangani. 

Sekadar informasi, Bursa Efek Indonesia (BEI) melakukan mekanisme trading halt usai indeks harga saham gabungan (IHSG) ambles hingga 5% pada perdagangan hari ini, Selasa (18/3/2025).

Hingga pukul 11.19 WIB, IHSG ambrol 325 poin atau 5,02% ke level 6.146,91. Di level itu, IHSG sudah anjlok lebih dari 13% dari level penutupan pada akhir 2024 di posisi 7.079,9. 

Anjloknya IHSG ditekan oleh koreksi saham BBCA -3,2%, BMRI -5,98%, BBRI -4,44%, PANI -19,41%, TPIA -19,93%, BREN -15,46%, BBNI -5,08%, dan TLKM -2,48%.

Peristiwa ini adalah pertama kali sejak Indonesia resmi lepas dari pandemi Covid-19. Rentetan tren buruk di IHSG itu memicu pertanyaan tentang prospek ekonomi selama beberapa tahun ke depan.

OECD Koreksi Proyeksi

Di sisi lain, Organization for Economic Cooperation and Development alias OECD menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini menjadi 4,9%.

Padahal sebelumnya, dalam publikasi OECD Economic Outlook Desember 2024, organisasi ekonomi yang berisi banyak negara maju itu memproyeksikan ekonomi Indonesia akan tumbuh 5,2% pada 2025.

Kendati demikian dalam publikasi terbaru bertajuk OECD Economic Outlook Interim Report Maret 2025, OECD memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya mencapai 4,9% pada 2025. Artinya, OECD menurunkan 0,3% proyeksinya.

"Pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang G20 secara umum diproyeksikan melambat," tulis OECD dalam publikasinya, dikutip Selasa (18/3/2025).

Kendati demikian, OECD menyatakan pertumbuhan ekonomi di Indonesia tidak akan melambat secara signifikan karena didukung oleh potensi pertumbuhan ekspor akibat efek ekskalasi perang dagang yang terjadi belakangan.

Selain itu, OECD memperkirakan tingkat suku bunga acuan Indonesia alias BI Rate akan tetap stabil untuk menjaga inflasi tetap rendah dan menghindari arus keluar modal akibat kebijakan suku bunga tinggi di Amerika Serikat.

Dalam proyeksi terbarunya, OECD menyatakan inflasi Indonesia akan berada di angka 1,8% pada 2025. Angka tersebut lebih rendah 0,3% daripada proyeksi OECD pada Desember 2024.

Sebagai perbandingan, pemerintah sendiri menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,2% pada 2025.

Sementara itu secara umum, OECD memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan melambat dari 3,2% pada 2024 menjadi 3,1% pada 2025 dan 3,0% pada 2026. Proyeksi ini lebih rendah dibandingkan perkiraan sebelumnya sebesar 3,3% untuk 2025 dan 2026.

"[Disebabkan] hambatan perdagangan yang lebih tinggi di beberapa ekonomi G20, meningkatnya ketidakpastian geopolitik, dan kebijakan yang membebani investasi serta pengeluaran rumah tangga," ujar OECD.

60.000 Buruh Kena PHK

Selain pelambatan ekonomi, pemerintah juga perlu mewaspadai gelombang pemutusan hubungan kerja yang terjadi di berbagai tempat. Badai PHK merupakan indikator bahwa kondisi industri di tanah air sedang tidak dalam kondisi stabil.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, misalnya,  mengungkapkan bahwa saat ini terjadi gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran, khususnya untuk sektor manufaktur. 

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Partai Buruh dan KSPI, tercatat sedikitnya 60.000 buruh telah mengalami PHK dari 50 perusahaan. Bahkan, dalam dua bulan pertama 2025 saja, jumlah buruh yang terkena PHK terus meningkat secara signifikan.   

Berbagai faktor menyebabkan PHK ini, mulai dari perusahaan yang dinyatakan pailit, kebijakan efisiensi dan pengurangan karyawan, hingga relokasi pabrik ke negara lain seperti China dan Jepang.   

“Jadi total perusahaaan yang melakukan PHK buruh pada Januari—Februari 2025 ada 50 perusahaan dengan jumlah buruh yang terkena PHK mencapai 60.000,” ujarnya kepada Bisnis, Minggu (16/3/2025).

Sebelumnya, pada Sabtu (15/3/2025) Said mengatakan bahwa sebanyak 49.843 pekerja telah kehilangan pekerjaan mereka akibat berbagai faktor, seperti efisiensi, pailit, hingga relokasi perusahaan ke luar negeri. 

Puluhan perusahaan dari berbagai sektor, terutama manufaktur, tekstil, dan industri elektronik, terpaksa melakukan PHK massal. Beberapa perusahaan besar yang mengalami kebangkrutan meliputi PT Sritex di Sukoharjo dengan total 10.665 pekerja yang terkena dampak, serta PT Karya Mitra Budi Sentosa yang memberhentikan 10.000 pekerja di Pasuruan, Nganjuk, dan Madiun.

Selain kebangkrutan, sejumlah perusahaan melakukan efisiensi dengan memangkas jumlah tenaga kerja. PT Bitratex di Semarang mengurangi 2.000 pekerja, sementara PT Victory Ching Luh dan PT Adis di Tangerang masing-masing melakukan PHK terhadap 2.000 dan 1.500 pekerja. Bahkan, jaringan restoran cepat saji KFC turut terdampak, dengan 2.274 pegawainya harus kehilangan pekerjaan. 

Tak hanya itu, beberapa perusahaan memilih merelokasi pabrik mereka ke luar negeri. PT Sanken Indonesia, misalnya, memindahkan operasionalnya ke Jepang, sementara PT Yamaha Music Piano memindahkan produksinya ke China, menyebabkan 1.100 pekerja terkena dampak.

Selain faktor pailit dan efisiensi, ada pula kasus PHK sepihak yang menimpa pekerja di PT Parsiantuli Karya Perkasa di Cirebon. Sementara itu, PT ISS di Lampung mengalami peralihan perusahaan yang turut berdampak pada tenaga kerja mereka. 

Said menilai bahwa fenomena ini menjadi perhatian serius bagi dunia ketenagakerjaan di Indonesia. Para pekerja yang terdampak berharap pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk membantu mereka mendapatkan pekerjaan baru atau memberikan dukungan sosial yang diperlukan.

“Dengan angka PHK yang mencapai hampir 60.000 orang, tantangan ketenagakerjaan di Indonesia semakin besar di tengah ketidakpastian ekonomi global,” pungkas Said Iqbal.

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Redaksi
Editor : Edi Suwiknyo
Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper