Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Alokasi Gas Murah Industri (HGBT) Masih Dibatasi, Pengusaha Butuh Kepastian

Pelaku industri mengeluhkan pembatasan alokasi HGBT dapat memicu ketidakpastian dalam melakukan ekspansi usaha hingga kompetisi bisnis yang tidak sehat.
Ilustrasi infrastruktur pipa gas PGN/Dok. PGN
Ilustrasi infrastruktur pipa gas PGN/Dok. PGN

Bisnis.com, JAKARTA - Industri pengguna harga gas bumi tertentu (HGBT) atau gas murah masih menghadapi pembatasan alokasi gas industri tertentu (AGIT). Hal ini disebut memicu ketidakpastian dalam melakukan ekspansi usaha hingga kompetisi bisnis yang tidak sehat. 

Adapun, kebijakan HGBT periode kedua kembali berlanjut seiring terbitnya Kepmen ESDM No 76/2025. Kelanjutan gas murah industri ini kembali berlaku untuk tujuh sektor industri, yaitu pupuk, petrokimia, oleochemical, baja, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. 

Ketua Umum Federasi Industri dan Pengusaha Gas Bumi (FIPGB) Yustinus Gunawan mengatakan, pihaknya mengapresiasi kebijakan pemerintah yang melanjutkan HGBT. Namun, hingga saat ini, pihaknya masih mendapatkan pembatasan alokasi kuota gas yang artinya penyaluran belum sesuai 100% dengan Kepmen. 

"Sekarang kami sedang mengevaluasi implementasi HGBT 2.0 ini. Ternyata belum ada kepastian amanah dalam Kepmen 76/2025 ini 100% dilaksanakan oleh pihak penyalur," kata Yustinus kepada wartawan, dikutip Selasa (18/3/2025). 

Dia menyoroti implementasi HGBT saat ini bergantung pada peran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta SKK Migas dalam memastikan alokasi gas sampai ke perusahaan pengguna secara penuh. 

Yustinus menegaskan bahwa gas harus tersedia 100% untuk industri pengguna gas bumi demi mendorong kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) di atas 21% untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%. 

"Kenaikan harga dari US$6,5 per MMBtu menjadi US$7 per MMBtu kami bisa serap dengan satu kondisi, 100% volume Kepmen, apalagi pemerintah merencanakan ekonomi tumbuh 8%, tentu butuh energi ekstra," jelasnya. 

Senada, Ketua Umum Asosiasi Gelas Kaca Indonesia (APGI) Henry T. Sutanto menyebutkan adanya ketimpangan harga gas di wilayah timur dan barat Indonesia. 

Henry menjelaskan bahwa di wilayah barat, kuota gas untuk industri gelas mencapai 73%. Sisanya industri harus membeli gas dari regasifikasi LNG dengan harga yang lebih mahal, yakni US$16,77 per MMBtu. 

Di sisi lain, wilayah timur hanya mendapatkan kuota 58%, sementara sisanya pengguna dikenakan harga gas yang masih mengacu pada akta jual beli.

"Ini menyebabkan ketimpangan di timur dan barat. Kompetisi yang tidak sehat. Harga gas dominan di industri gelas. Kalau harganya beda bisa bayangkan nanti saling bunuh. Terjadi kompetisi yang tidak sehat," ujarnya. 

Terlebih, dia juga menyoroti adanya ketimpangan harga antara pelaku usaha yang sudah lama exist dengan investor baru. Dalam hal ini, dia mencontohkan KCC Glass yang baru membangun pabriknya di Kawasan Industi Terpadu Batang (KITB). 

"Kita lihat KCC dapat harganya khusus, US$6 per MMBtu. Yang lain itu semua dapat US$7 per MMBtu dari pemerintah. Kok lucu, pemain baru dapat lebih murah dari pabrik lama. Kalau ditanya, jawabannya karena itu G2G," tuturnya. 

Tak hanya memicu persaingan tidak sehat antarindustri, Henry juga mencemaskan utilitas kapasitas produksi gelas kaca yang dalam tren menurun. Adapun, posisi saat ini berada di level 80%. Pihaknya berharap agar AGIT segera dihapuskan sehingga harga gas bisa diterapkan secara merata.

"Ya, kita harapkan seperti janjinya Pak Bahlil [Menteri ESDM]. Janji sebelum katanya naik US$6,5 per MMBtu ke US$7 per MMBtu. Kita minta agar kuota AGIT atau apapun namanya, jangan ada lagi," ungkapnya.

Selain itu, Ketua Umum Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) Edy Suyanto juga mengungkapkan hal yang serupa, dengan menyoroti gangguan pasokan gas yang terjadi di Jawa Timur. 

Edy mengungkapkan bahwa gangguan pasokan gas ini menyebabkan industri di wilayah tersebut harus membayar harga gas lebih mahal, yaitu sekitar US$9,2 per MMBtu, sementara alokasi gas yang didapat hanya 58%.

"Kami mendesak perbaikannya mesti cepat, kemudian harus ada tambahan alokasi untuk industri di Jawa Timur," tegas Edy.

Edy juga meminta pemerintah untuk segera mengatasi ketimpangan pasokan gas di berbagai daerah dan mengutamakan kepastian bagi industri dalam menjalankan investasi dan ekspansi. 

Pada periode pertama HGBT, dari tahun 2021-2024, Asaki mencatat terdapat tambahan ekspansi 75 juta meter persegi dengan investasi hampir Rp20 triliun dan penyerapan tenaga kerja sekitar 15.000 orang.

"Tahap kedua ekspansi ini adalah pasca-HGBT Kepmen nomor 76K/2025 ini, kami memasang waktu mulai tahun 2025 sampai tahun 2027, kami akan investasi kurang lebih Rp8 triliun lagi," jelasnya. 

Investasi baru tersebut dengan kapasitas sekitar 90 juta meter persegi dan menyerap tenaga kerja 6.000 karyawan. Secara total dari 2 tahap ekspansi tersebut mencapai 170 juta meter persegi. 

"Ini ekuivalen dengan 215% daripada total angka impor setahun. Angka impor setahun itu sekitar 80 juta meter persegi. Artinya apa? Sesungguhnya ini adalah langkah strategis untuk substitusi impor," tambahnya. 

Kebijakan gas murah industri dinilai penting agar dapat bersaing dengan produk-produk asing. Apabila HGBT tak dapat dipenuhi dari gas dalam negeri, maka pihaknya menyarankan agar ada solusi alternatif seperti impor ataupun penerapan domestic market obligation (DMO) gas bumi. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Bisnis Indonesia Premium.

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Bisnis Indonesia Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper