Bisnis.com, JAKARTA - Pembelian batu bara dari China berpotensi turun imbas kebijakan kewajiban menggunakan harga batu bara acuan (HBA) sebagai acuan transaksi penjualan emas hitam di pasar global.
Melansir Bloomberg, Kamis (6/3/2025), perusahaan-perusahaan asal Negeri Tirai Bambu merasa keberatan dengan kebijakan tersebut. Pasalnya, harga pada HBA lebih tinggi.
Misalnya, HBA Februari untuk batu bara Indonesia berkualitas tinggi adalah US$124,24 per ton. Sementara itu, kontrak berjangka batu bara Newcastle Australia di bursa ICE Futures Europe untuk Februari rata-rata dipatok US$105 per ton.
Konsultan yang berbasis di China, Fenwei Energy Information Service Co, dalam catatannya menyebut beberapa perusahaan berusaha untuk membatalkan atau merundingkan ulang kontrak jangka panjang dengan Indonesia.
Senada, Asosiasi Transportasi dan Distribusi Batu Bara China juga menyebut HBA membuat harga emas hitam asal RI melambung. Hal ini dapat menghapus keuntungan perdagangan dan menghambat pembelian dari pembeli di China.
Fenomena penolakan penerapan HBA dari perusahaan China itu juga diamini oleh Indonesian Mining Association (IMA). Direktur Eksekutif IMA Hendra Sinadia mengaku pihaknya mendengar keberatan dari buyer batu bara RI. Ini khususnya buyer dari China.
Mereka, kata Hendra, keberatan lantaran HBA lebih tinggi dibandingkan indeks harga batu bara lainnya.
"Ya, kami mendengar keberatan dari pihak buyer terkait dengan rencana penerapan HBA. Saya kebetulan 27 Februari lalu hadir di acara 2nd China Coal Import International Summit di kota Guangzhou dan banyak pertanyaan dari pihak buyer terkait hal itu," kata Hendra kepada Bisnis, Selasa (4/3/2025).
Selama ini, kebanyakan pembeli batu bara dari Indonesia mengacu pada Indonesia Coal Index (ICI). Indeks harga ini merupakan acuan harga mingguan batu bara Indonesia di pasar domestik dan internasional yang disusun oleh PT Coalindo Energy dan Argus Media, lembaga pricing dari Inggris.
Sementara itu, HBA ditetapkan oleh Kementerian ESDM setiap bulannya (kini akan ditetapkan 2 kali sebulan) dan digunakan sebagai tolok ukur untuk menentukan tarif royalti dan harga jual batu bara.
Hendra pun menyebut para eksportir kini tengah bernegosiasi dengan para buyer terkait kontrak existing. Sebab, kontrak yang sudah terjalin belum mengacu pada HBA.
"Tentu para eksportir sedang menegosiasikan dengan para buyer karena selama ini mereka sudah ada kontrak yang merujuk kepada indeks tertentu," jelas Hendra.
Adapun, kebijakan penggunaan HBA untuk ekspor tersebut diberlakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mulai 1 Maret 2025.
Hal ini diatur dalam Keputusan Menteri (Kepmen) Menteri ESDM Nomor 72.K/MB.01/MEM.B/2025 tentang Pedoman Penetapan Harga Patokan untuk Penjualan Komoditas Mineral Logam dan Batu Bara.
Beleid ini mengatur mengenai kewajiban bagi pemegang IUP/IUPK tahap kegiatan operasi produksi, pemegang IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian termasuk pemegang kontrak karya dan pemegang PKP2B, melakukan penjualan batu bara yang diproduksi sesuai harga patokan batu bara (HPB).
HPB yang dihitung menggunakan HBA, menjadi harga batas bawah penjualan batu bara. Penetapan HBA pun kini akan dilakukan dua kali dalam 1 bulan, yakni setiap tanggal 1 dan 15.
Sebelumnya, penetapan HMA dan HBA dilakukan 1 bulan sekali. Aturan ini merupakan upaya pemerintah untuk menjaga stabilitas harga penjualan komoditas mineral logam dan batu bara di pasar global maupun dalam negeri.
Buyer Batu Bara dari China Berpotensi Batalkan Kontrak Imbas Aturan HBA
Perusahaan-perusahaan China keberatan dengan kebijakan RI terkait penggunaan HBA sebagai acuan transaksi ekspor.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Mochammad Ryan Hidayatullah
Editor : Denis Riantiza Meilanova
Konten Premium
Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.
Artikel Terkait
Berita Lainnya
Berita Terbaru
Terpopuler
# Hot Topic
Rekomendasi Kami
Foto
