Bisnis.com, JAKARTA — Fenomena penutupan pabrik kembali terjadi awal tahun ini yang menimpa lini produksi pabrik piano milik Yamaha. Adapun, penutupan produksi pabrik ini akan berakibat pemutusan hubungan kerja (PHK) yang berdampak ke 1.100 pekerja.
Presiden Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Riden Hatam Aziz mengatakan, dua pabrikan alat musik Yamaha akan menutup fasilitas produksinya secara bertahap.
“Saat ini sedang negosiasi [manajemen dan buruh]. Kedua-duanya pabrik divisi piano karena order menurun diputuskan di produksi di China dan Jepang,” kata Riden kepada Bisnis, Kamis (27/2/2025).
Adapun, pabrik pertama yang akan tutup yaitu PT Yamaha Music Product Asia MM 2100 di Bekasi pada akhir Maret 2025. Jumlah tenaga kerja yang ada dan berpotensi terkena PHK yaitu sebanyak 400 orang.
Pabrik kedua yaitu PT Yamaha Indonesia di Kawasan Pulo Gadung dengan jumlah karyawan sebanyak 700 orang. Fasilitas produksi alat musik ini memiliki tenaga kerja kurang lebih 700 orang.
Sebelumnya, ekonom memproyeksikan badai PHK tahun ini tidak hanya terjadi di sektor padat karya seperti manufaktur saja, melainkan juga mengancam sektor akomodasi hingga digital.
Baca Juga
Merujuk pada data Kementerian Ketenagakerjaan, kasus PHK di Indonesia tercatat sebanyak 77.965 pekerja sepanjang 2024 atau meningkat 20,2% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 64.855 pekerja.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal mengatakan, industri manufaktur yang selama ini banyak menyerap tenaga kerja masih tertekan kondisi pelemahan daya beli dan minimnya kebijakan pro industri.
"Secara umum tingkat PHK-nya masih relatif tinggi pada tahun ini. Menurut saya, karena kalau kita lihat apa yang menyebabkan PHK di tahun-tahun sebelumnya termasuk di tahun lalu itu memang banyak faktor dari kekuatan demand domestik," kata Faisal kepada Bisnis, Senin (24/2/2025).
Disisi lain, dia juga menyebutkan faktor peningkatan PHK tahun ini, khususnya sektor padat karya lantaran masih dalam posisi keterbatasan ruang gerak, profitabilitas rendah, hingga pengetatan kebijakan.
"Kemudian, faktor kebijakan yang lain cenderung banyak terjadi pengetatan terutama anggaran, dorongan fiskal sehingga dengan terbatasnya anggaran kemungkinan besar belanja insentif untuk sektor-sektor riil itu terbatas," ujarnya.