Bisnis.com, JAKARTA — Setidaknya ada dua catatan penting yang dapat dituangkan dari munculnya tagar #KaburAjaDulu yang kini viral di media sosial. Pertama, tagar ini bukan sekadar tren, melainkan alarm bagi kondisi ekonomi Indonesia.
Situasi ini mencerminkan kegelisahan generasi muda atas sempitnya peluang ekonomi dan beratnya tekanan hidup di Tanah Air.
Kedua, tagar ini seolah mengingatkan kembali pada pandangan Adam Smith bahwa kesejahteraan suatu bangsa tak hanya ditentukan oleh kekayaan alamnya, tapi bagaimana sumber daya tersebut dikelola dan dialokasikan secara produktif.
Bahkan, ketergantungan berlebihan terhadap sumber daya alam justru bisa menjadi bumerang dalam bentuk 'kutukan sumber daya' atau resource curse.
Tak perlu analisis ekonomi mendalam atau mengernyitkan dahi untuk memahami alasan di balik tren ini di media sosial. Karena contohnya, dari potensi tambang nikel saja, kita bisa melihat betapa besarnya peluang Indonesia.
Data Asosiasi Penambang Nikel Indonesia [APNI] menyebut produksi nikel Indonesia 65% pasar dunia [2023 hingga 2024].
Baca Juga
Di tengah pasar mobil listrik [electric vehicle/EV] yang tengah berkembang pesat, Indonesia mestinya bisa memainkan peran strategis dalam industri ini. Dengan kekayaan nikel yang melimpah, Indonesia memiliki potensi besar menjadi pemain kunci dalam rantai pasok global mobil listrik. Itu artinya, anak-anak muda Indonesia tak mesti kabur ke luar negeri.
Potensi Indonesia
Faktanya, resource curse telah menghantui Indonesia selama beberapa dekade terakhir. Kekayaan alam sering kali tak berkontribusi secara maksimal terhadap kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, eksploitasi sumber daya yang kurang terarah, memperburuk ketimpangan ekonomi, meningkatkan defisit anggaran, dan memperlambat pertumbuhan industri berbasis inovasi.
Kondisi saat ini memang jauh dari harapan. Potensi besar yang dimiliki Indonesia belum sepenuhnya dikelola secara optimal, sehingga belum mampu mendorong negeri ini ke posisi yang lebih menguntungkan.
Alih-alih menikmati kesejahteraan, masyarakat justru sering kali harus mengencangkan ikat pinggang hanya untuk bertahan hidup di negeri yang sebenarnya kaya raya.
Ketimpangan ekonomi yang lebar, daya beli yang stagnan, serta kurangnya pemerataan kesejahteraan menjadi bukti nyata bahwa kekuatan ekonomi yang dimiliki belum diartikulasikan menjadi manfaat konkret bagi rakyat.
Padahal, dengan sumber daya alam yang melimpah, posisi geografis yang strategis, dan populasi muda yang besar, Indonesia seharusnya bisa menjadi kekuatan ekonomi yang diperhitungkan. Namun, realitanya, kita masih terjebak dalam paradoks: negeri yang kaya, tetapi rakyatnya masih banyak yang bergulat dengan kesulitan hidup.
Aset, dividen, dan pendapatan negara yang seharusnya menjadi modal utama dalam membangun fondasi ekonomi nasional justru kerap tersedot untuk menutupi defisit anggaran yang terus membengkak.
Alokasi dana negara sering kali lebih besar digunakan untuk belanja pegawai serta birokrasi dibandingkan dengan investasi produktif yang berdampak langsung pada pertumbuhan ekonomi.
Ketidakseimbangan ini semakin mempersempit ruang fiskal, sehingga langkah-langkah strategis dalam pembangunan sering kali terkendala oleh keterbatasan anggaran.
Gerakan #KaburAjaDulu mengingatkan kita bahwa kebangkitan ekonomi tidak bisa hanya bergantung pada investasi asing atau kebijakan sesaat yang sering kali berubah tanpa arah yang jelas. Kebangkitan sejati harus berakar pada kemampuan bangsa untuk berinovasi, menciptakan nilai tambah, dan mengelola aset secara strategis dengan visi jangka panjang.
Gerakan ini menekankan pentingnya kemandirian ekonomi, memanfaatkan potensi domestik, dan mengurangi ketergantungan terhadap pihak eksternal yang sering kali mengendalikan jalannya pertumbuhan nasional.
Trisula Investasi Negara
Di sinilah posisi penting lembaga yang akan diluncurkan Presiden Prabowo Subianto—Badan Pengelola Investasi (BPI) Indonesia bernama Danantara pada 24 Februari 2025.
Badan ini dibentuk untuk mengoptimalkan kekayaan negara melalui investasi strategis, memastikan bahwa aset nasional tidak hanya bertahan, tetapi juga berkembang dan memberikan dampak nyata bagi perekonomian nasional.
Nama Danantara merupakan singkatan dari Daya Anagata Nusantara. Kata Daya berarti energi atau kekuatan, Anagataberarti masa depan, dan Nusantara merujuk pada Tanah Air. Filosofi ini mencerminkan tekad pemerintah, khususnya Presiden Prabowo Subianto, untuk memastikan bahwa kekayaan negara tidak hanya dikelola dengan baik, tetapi juga dioptimalkan demi kesejahteraan generasi mendatang.
Danantara bukan sekadar badan pengelola investasi biasa. Ia merupakan trisula, atau senjata ampuh yang memegang tiga pilar utama dalam strategi investasi negara: konsolidasi aset, transformasi peran BUMN, dan kedaulatan investasi.
Layaknya trisula, Danantara menciptakan fondasi yang solid untuk membangun Indonesia yang mandiri, berdaulat, dan makmur.
Setidaknya ada tujuh BUMN besar yang asetnya akan dikelola Danantara, yakni Bank Mandiri, BRI, BNI, Pertamina, Telkom Indonesia, PLN, dan MIND ID. Total aset yang dikonsolidasikan diperkirakan mencapai Rp9.045 triliun.
Selama ini aset negara tersebar di berbagai sektor dan belum dikelola secara optimal. Danantara hadir agar aset-aset ini dapat dikonsolidasikan agar lebih efisien dan berdampak lebih besar.
Meskipun dana yang dikelola Danantara berasal dari BUMN, terutama bank-bank Himbara, namun hal ini tidak akan serta-merta mengganggu kinerja perbankan BUMN. Danantara hanya mengelola aset, bukan dana nasabah.
Ada banyak contoh bagaimana kemudian negara-negara di dunia berhasil memanfaatkan pengelolaan aset secara terintegrasi. Mulai dari Singapura lewat Temasek, Malaysia melalui Khazanah, atau bahkan Norwegia melalui GPFG.
Khusus untuk Norwegia, negara kecil di Skandinavia ini memiliki Government Pension Fund Global (GPFG) atau Dana Kedaulatan Norwegia, yang menjadi salah satu dana kekayaan negara terbesar di dunia. Dengan nilai aset yang mencapai lebih dari US$1,4 triliun, dana ini bukan hanya menjadi penyangga ekonomi Norwegia, tetapi juga bukti nyata bagaimana kekayaan migas dapat dikelola secara transparan, akuntabel, dan berkelanjutan.
Berkaca pada Temasek, Khazanah, atau GPF, kehadiran Danantara juga dimaksudkan untuk mendorong transformasi peran BUMN agar tak hanya menjadi operator bisnis, tetapi juga aktor utama dalam mendorong pertumbuhan ekonomi melalui investasi strategis.
Dengan pendekatan ini, BUMN dapat memainkan peran lebih aktif dalam proyek-proyek vital seperti pengembangan industri berbasis teknologi tinggi, energi terbarukan, serta infrastruktur digital.
Kehadiran Danantara juga memberi peluang kepada Indonesia untuk membangun sumber pendanaan domestik yang kuat dan berkelanjutan. Melalui model investasi yang lebih transparan dan akuntabel, Danantara diharapkan dapat menarik lebih banyak investor domestik serta meningkatkan kepercayaan investor global terhadap stabilitas ekonomi Indonesia.
Indonesia pada akhirnya dapat lebih leluasa merancang kebijakan ekonomi yang berpihak pada kepentingan nasional tanpa tekanan eksternal yang berlebihan.
Mimpi besar Danantara tentu tidak lepas dari tantangan. Banyak aral melintang yang harus dilalui secara matang, mulai dari birokrasi yang berbelit, resistensi terhadap perubahan, hingga risiko politisasi proyek strategis. Namun, di sisi lain, peluang bagi Indonesia untuk meneguhkan posisinya sebagai kekuatan ekonomi global sangat terbuka.
Dengan populasi muda yang besar dan kelas menengah yang terus berkembang, pasar domestik menjadi kekuatan utama dalam menopang pertumbuhan ekonomi.
Jika transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan aset negara terus ditingkatkan, investor akan semakin percaya dan tertarik untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Sinergi yang erat antara sektor publik dan swasta juga menjadi faktor kunci dalam mempercepat realisasi proyek-proyek strategis yang dapat membawa dampak besar bagi perekonomian nasional.
Indonesia telah lama disebut sebagai raksasa yang tertidur. Namun, dengan kehadiran Danantara sebagai trisula investasi negara, peluang untuk bangkit dan mengambil peran dominan di kancah global semakin nyata.
Keberhasilan Danantara tidak hanya bertumpu pada kebijakan pemerintah semata, tetapi juga membutuhkan keterlibatan aktif seluruh elemen bangsa—mulai dari sektor swasta, akademisi, hingga masyarakat luas.
Dengan kerja sama yang erat dan komitmen yang kuat, Indonesia dapat melesat menjadi kekuatan ekonomi dunia. Jika itu terjadi, maka tidak akan ada alasan bagi anak-anak muda Indonesia untuk mencari masa depan di luar negeri, karena peluang dan harapan mereka akan berkembang di Tanah Air sendiri.