Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Beban Awal Pemerintahan Prabowo: Tax Ratio Loyo, Penerimaan Pajak Tak Elastis

Setelah 100 hari pertama pemerintahannya, Prabowo mendapati bahwa kondisi perpajakan sedang menantang: tax ratio turun, penerimaan pajak tidak elastis.
Ilustrasi pajak. / dok. Freepik - 8photo
Ilustrasi pajak. / dok. Freepik - 8photo

Bisnis.com, JAKARTA — Rilis data produk domestik bruto atau PDB pada pekan lalu yang menunjukkan pertumbuhan ekonomi 2024 sebesar 5,03%, juga mengungkap kondisi perpajakan Indonesia yang penuh tantangan.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa PDB atas harga berlaku 2024 mencapai Rp22.139 triliun. Lalu, berdasarkan pembukuan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebelum diaudit, realisasi penerimaan perpajakan 2024 mencapai Rp2.232,7 triliun.

Rinciannya, penerimaan pajak 2024 sebesar Rp1.932,4 triliun, lalu penerimaan kepabeanan dan cukai tahun lalu mencapai Rp300,2 triliun.

Data-data itu dapat digunakan untuk perhitungan rasio pajak (tax ratio) dan elastisitas penerimaan pajak terhadap PDB (tax bouyancy) tahun anggaran 2024.

Rasio pajak dihitung dengan rumus (total penerimaan perpajakan / PDB) × 100%. Artinya, rasio pajak 2024 dihitung sebagai berikut: (Rp2.232,7 triliun / Rp22.139,0 triliun) × 100% = 10,08%.

Rasio perpajakan 2024 dalam arti luas didapati sebesar 10,08%. Sementara itu, apabila tidak memperhitungkan penerimaan bea cukai atau rasio pajak dalam arti sempit, angkanya menjadi 8,72%.

dalam Undang-Undang No. 59/2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2025—2045 (UU RPJPN), rasio pajak ditargetkan mencapai 18%—20% pada 2045.

Secara historis, sejak Joko Widodo mengambil alih pemerintahan pada 2014, rasio pajak memang tidak pernah berada di atas 11%—bahkan lebih sering berada di angka satu digit. Padahal, ketika kampanye Pilpres 2019, Jokowi berjanji akan menggenjot rasio pajak hingga 12,2%.

Sementara itu, Presiden Prabowo Subianto sempat mengungkapkan ambisinya agar rasio pajak mencapai 16% terhadap PDB. Dia menjelaskan, rasio pajak Indonesia yang kerap berada di angka 10% tergolong kecil.

Prabowo membandingkan rasio pajak Indonesia tersebut dengan dengan sejumlah negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, hingga Kamboja yang rasio pajaknya jauh lebih besar yaitu di kisaran 16%—18% terhadap PDB.

Dia mengungkapkan salah satu upaya yang bakal dilakukannya adalah melakukan efisiensi dalam pengelolaan anggaran hingga memperluas wajib pajak.

Selanjutnya, elastisitas pajak atau tax buoyancy diperoleh dari perhitungan persentase perubahan penerimaan perpajakan dibagi dengan persentase perubahan PDB.

Berdasarkan catatan Kementerian Keuangan, penerimaan perpajakan tumbuh sebesar 3,6% (year on year/YoY) pada 2024. Sementara itu, Badan Pusat Statistik (BPS) membukukan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,03% pada tahun yang sama.

Artinya, nilai tax buoyancy Indonesia berada di angka 0,71. Nilai ini menunjukkan bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi nasional hanya menghasilkan kenaikan penerimaan pajak sebesar 0,71%.

Idealnya nilai tax buoyancy adalah 1. Angka ini menandakan bahwa setiap 1% pertumbuhan ekonomi menghasilkan peningkatan penerimaan pajak sebesar 1%.

Dalam tiga tahun terakhir, nilai tax buoyancy Indonesia memang terus mengalami penurunan. Pada 2021, tax buoyancy tercatat sebesar 1,94, kemudian turun menjadi 1,92 pada 2022, kembali menurun ke 1,17 pada 2023, dan kini berada di angka 0,71 pada 2024.

Dengan demikian, setoran pajak tidak elastis pada tahun lalu atau bisa dikatakan penerimaan pajak tumbuh lebih lambat daripada pertumbuhan ekonomi.

Biang Keladi Tekanan Pajak RI

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui bahwa 2024 merupakan tahun yang berat, terutama dalam hal penerimaan perpajakan. Dia menyatakan bahwa realisasi penerimaan perpajakan 2024 tidak mencapai target akibat menurunnya harga komoditas.

Kementerian Keuangan mencatat penerimaan perpajakan (unaudited) selama 2024 mencapai Rp2.232,7 triliun. Realisasi ini setara dengan 96,7% dari target penerimaan perpajakan dalam APBN 2024 yang ditetapkan sebesar Rp2.309,9 triliun.

"Tahun lalu bukan tahun yang mudah. Ini adalah tahun di mana penerimaan negara mengalami tekanan luar biasa akibat penurunan harga-harga komoditas," ujar Sri Mulyani dalam acara BRI Microfinance Outlook 2025, Kamis (30/1/2024).

Bendahara negara itu menilai bahwa berbagai kondisi ekonomi menyebabkan pelaku usaha mengalami tekanan. Sejalan dengan itu, penerimaan perpajakan juga terdampak.

Ketua Pengawas Ikatan Konsultan Pajak Indonesia (IKPI) Prianto Budi Saptono menjelaskan setidaknya ada dua faktor yang menyebabkan penerimaan pajak semakin tidak elastis terhadap pertumbuhan ekonomi yaitu faktor internal dan eksternal dari Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) Kementerian Keuangan.

"Faktor internal berkaitan dengan kemampuan petugas pajak mengumpulkan pajak. Penyebabnya berasal dari intensifikasi dan ekstensifikasi yang belum optimal," jelas Prianto kepada Bisnis, Minggu (9/2/2025).

Pengajar Ilmu Administrasi Fiskal di Universitas Indonesia ini menjelaskan proses intensifikasi berkaitan dengan penerbitan SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data/Keterangan) yang tidak berujung pada pembayaran pajak bagi wajib pajak.

Penyebabnya, sambung Prianto, adalah potensi pajak yang ada di SP2DK menggunakan data yang kurang valid. Dengan demikian, wajib pajak bisa menjelaskan rujukan data yang kurang valid di SP2DK melalui proses pembuktian sehingga potensi penerimaan pajak menjadi sirna.

Sementara itu, proses ekstensifikasi berkaitan dengan penambahan wajib pajak baru, khususnya orang pribadi, melalui pemanfaatan NIK yang belum optimal.

Dia meyakini belum optimalnya penambahan wajib pajak karena praktik ekonomi bawah tanah alias underground economy (UGE) yang menyebabkan transaksi-transaksi orang pribadi tidak terdeteksi oleh sistem informasi perpajakan.

"Faktor eksternal berasal dari perilaku oportunistik wajib pajak karena praktik UGE dan praktik manajemen pajak. Secara umum, pajak menjadi beban sehingga setiap wajib pajak terus berusaha mengefisienkan beban pajak," lanjut Prianto.

Halaman
  1. 1
  2. 2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper